SEKILAS INFO
  • 3 tahun yang lalu / Masjid Independen bukan milik ormas, partai atau instansi tertentu tapi menjalin silaturahmi tanpa batas dengan siapapun
WAKTU :

Sejarah

Sekapur Sirih Buku Putih

Ust. Yudha Abas Bhaskara, SHI

Masjid Jami Ama Haji Umar atau yang sekarang dikenal sebagai Masjid Jami Ad-Da’wah, merupakan masjid bersejarah yang berada di wilayah Balandongan, Kelurahan Sudajaya Hilir, Kecamatan Baros, Kota Sukabumi, Jawa Barat. Masjid ini didirikan pertama kali oleh Ama Haji Umar bin Abah H. Idum Rahimahumallah Ta’ala, seorang Tuan Tanah yang menguasai hampir seluruh tanah di wilayah kelurahan Sudajaya Hilir termasuk Balandongan, sebagian wilayah  gedong Panjang, Lembur Pasir, Pasir Pogor hingga Pemakaman di Pangkalan.

Hingga kini hampir seluruh warga Balandongan merupakan keturunan Ama Haji Umar. Tercatat sudah ada enam generasi keturunan Ama Haji Umar yang ada di Balandongan. Jika satu generasi saja terdiri dari 50 orang, maka sedikitnya 300 penduduk Balandongan merupakan keturunan Ama Haji Umar. Ini tak mengherankan karena semasa hidupnya Almarhum Ama Haji Umar mempunyai empat orang istri. Dari keempat istrinya inilah lahir keturunan Ama Haji Umar yang hingga kini terus menyebar di wilayah Balandongan dan sekitarnya.

Nasab Keluarga Besar Ama Haji Umar

Garis keturunan Ama Haji Umar di Balandongan terdiri dari beberapa nasab. Dari nasab istri pertamanya, Ama Haji Umar mempunyai seorang putri bernama Almarhumah Ma Oto. Dari Almarhumah Ma Oto inilah lahir lima orang cucu Ama Haji Umar yang kemudian melahirkan anak cucunya hingga sekarang, yaitu:

Pertama, Almarhumah Ma Uken yang mempunyai keturunan: 1. Almarhumah Bah Ibin yang keturunannya sampai ke keluarga Almarhum Kang Irwan di Balandongan Wetan, Kang Ujang Buldan, Teh Nani dan Teh Tika. 2. Almarhumah Bi Eje yang keturunannya sampai ke keluarga Kang Wawan di Cipoho, keluarga Ceu Ema di Bogor dan keluarga Kang Nasrul di Cipoho. 3. Almarhumah Bi Iki yang keturunannya sampai ke keluarga Ceu Wewen di Cibolang Cisaat dan keluarga Teh Yani di Cipucung. 4. Almarhumah Bi Uun yang keturunannya sampai ke keluarga Nyi Eka di Balandongan Kidul dan keluarga Mama Igun di Balandongan Kidul dan Almarhum Kang Hendar.

Kedua, Almarhumah Ma Sutimah yang mempunyai keturunan: 1. Almarhum Abah Abas di Cikondang yang menikah dengan Almarhumah Ma Yoyoh yang melahirkan Almarhum Pak Guru Jajat Sudrajat. 2. Almarhum Kang Emi di Nyomplong. 3. Haji Atikah di Bogor. 4. Haji Inin di Bogor. 5. Mang Dayat di Cikondang. 6. Kang Ikin di Cikondang dan 7. Tika di Cikondang.

Ketiga, Almarhum Haji Kamal yang mempunyai keturunan: 1. Kang Enyang di Lamping. 2. Teh Juliah di Balandongan Kidul. 3. Almarhumah Teh Ucun. 4. Almarhumah Ceu Eneng yang menikah dengan Aki Hajar yang keturunannya sampai ke Teh Janah.

Keempat, Almarhum Ama Sayuti yang mempunyai keturunan dari istri pertamanya Ma Erum, yaitu: 1. Almarhumah Ma Yayah yang keturunannya sampai ke keluarga Teh Titin, Teh Papat, Teh Uyu, keluarga Teh Ati Kang Babas, dan keluarga Teh Titi. 2. Kang Komar di Gang Purwa Tipar dan 3. Kang Atang di Balandongan Wetan. Sementara dari istri keduanya Almarhumah Wa Ihat mempunyai keturunan: 1. Haji Yayan di Tipar. 2. Haji Ajid di Gang Pesantren Tipar. 3. Almarhum Kang Maman. 4. Ceu Dedah di Pelabuhan Ratu. 5. Haji Liah di Pelabuhan Ratu. 6. Kang Parta di Pelabuhan Ratu. 7. Kang Engkus di Pelabuhan Ratu. 8. Kang Dadih di Gunung Guruh. 9. Haji Pani di Pelabuhan Ratu dan 10. Teh Ela di Jepang.

Kelima, Almarhum Bah Basri yang mempunyai keturunan: 1. Ceu Titing di Balandongan Wetan dan 2. Ceu Uum di Balandongan Wetan.

Sementara dari istri keduanya Ama Haji Umar mempunyai keturunan dua orang putri yakni almarhumah Ma Hambiah yang garis keturunannya sampai pada keluarga almarhumah Hj. Euis. Dan almarhumah Hj. Juwairiyah yang garis keturunannya kini menyebar di wilayah Cipanas Cikundul.

Sedangkan dari istri ketiganya yang bernama almarhumah Umi Ucung, Ama Haji Umar mempunyai keturunan tujuh orang putra dan putri, yakni:

Pertama, Almarhum Mama Cece Asy’ari yang mempunyai keturunan: 1. Almarhum KH. Sulaiman yang keturunannya sampai ke keluarga almarhumah Ceu Ninih, keluarga Ceu Ihah, keluarga Ceu Imas di Cipanengah, hingga keluarga Kang Daden di Tegal Laya. 2. Almarhumah Wa Ciah yang menikah dengan almarhum Mualim Oking Balandongan Wetan yang keturunannya sampai ke keluarga almarhumah Ceu Ihah dan keluarga almarhumah Ma Enyin di di Lamping Kampung Baru. 3. Almarhum Bah Jaja (Jahid) yang keturunannya sampai ke keluarga Ceu Lilis di Tipar, kelarga Kang Dadin di Tipar, keluarga Ceu Eneng di Tipar, keluarga Almarhumah Nenden hingga keluarga Ceu Dedeh di Tipar. 4. Almarhumah Ma Anon yang keturunannya sampai ke keluarga almarhum Kang Dadun, dan keluarga Kang Dadang (yang keturunannya sampai ke keluarga Teh Yani, Teh Dewi Kang Naser, Dede dan Asep). 5. Almarhum Mualim Zainal Abidin yang keturunannya sampai ke keluarga Almarhum Aep Ceu Liah, keluarga Teh Iis Bang Amir, keluarga Kang Ujen di Lebak Siuh, keluarga Teh Ipit, keluarga Kang Bubun, keluarga Kang Agus, keluarga Kang Deudeu Aziz Muslim hingga keluarga Kang Ule Sudirman. 6. Almarhum Mang Ali di Kebon Kawung yang mempunyai keturunan Ceu Kultsum dan Ceu Nenden. 7. Almarhumah Ma Idah di Segog Cibadak yang keturunannya sampai ke keluarga Almarhum Cecep, Almarhumah Neneng, hingga keluarga Ceu Iis di Cibadak. 8. Almarhumah Ma Totoh yang menikah dengan Bah Acun Tipar keturunannya sampai ke keluarga Ibu Euis pensiunan guru yang kini tinggal di Garut.

Kedua, Almarhum Aki Dasuki yang mempunyai keturunan: 1. Almarhumah Ma Halimah yang garis keturunannya sampai ke keluarga Ma Lilih, keluarga Ceu Eet, dan keluarga almarhum Kang Adang Ceu Iyam. 2. Almarhumah Ma Pi’ah yang garis keturunannya sampai ke keluarga Kang Aim, keluarga Kang Apud, keluarga Kang Pendi di Sala Eurih, keluarga Kang Duduh Palabuhan Ratu, keluarga Kang Kosim di Cipoho. 3. Almarhum Wa Ijud di Nanggeleng yang garis keturunannya sampai ke keluarga Almarhum Kang Hendra, keluarga Kang Encep Hendrik di Lampung dan keluarga Kang Dayat. 4. Almarhum Abah Dimi di Balandongan Kidul yang garis keturunannya sampai ke keluarga Kang Mama, keluarga Almarhum Kang Hendar dan keluarga keluarga Teh Eka. 5. Ma Odeh yang menikah dengan Apih Jiji di Balandongan Kidul yang garis keturunannya sampai ke keluarga Teh Nenih Panggilingan, keluarga Teh Elah, keluarga Kang Zaenudin di Balandongan Kidul, keluarga Teh Eneng Kang Usep Mebel, keluarga Kang Rusdi, keluarga Kang Ended dan keluarga Kang Dodi di Balandongan Kidul.

Ketiga, Almarhum Abah Abdulloh atau Abah Duloh yang mempunyai keturunan: 1. Almarhum Bah Ukan yang garis keturunannya sampai ke keluarga Kang Aih Susandi (yang mempunyai anak Teh Ati, Aji, Uci), dan keluarga Kang Ade di Balandongan Wetan. 2. Almarhumah Umi Ajan yang garis keturunannya sampai ke keluarga Almarhum Kang Oban Sobandi (yang mempunyai anak Kang Usep Mebel, Kang Wahyu, Kang Pipik dan Kang Ismet, Teh Ratih), keluarga Almarhumah Teh Cicin di Jeruk Nyelap, keluarga Wa Titin, keluarga Haji Yoyoh, keluarga Ceu Uum di Joglo, dan keluarga Kang Enyang Eko. 3. Almarhum Wa Ahmad yang garis keturunannya sampai ke keluarga Kang Idim di Cebek, keluarga Bi Ooy, dan keluarga Bi Cucum di Cipinang Jakarta, dan keluarga Ceu Titi Kang Enang. 4. Almarhumah Ma Oob di Rambay Cisaat yang garis keturunannya sampai ke keluarga Hamidah di Rambay, keluarga Kang Mimid Abdul Hamid, keluarga Ceu Mamah, keluarga Kang Aming, keluarga Kang Amung, keluarga Teh Nyai. 5. Almarhum Bah Toha.

Keempat, Almarhum Abah Numri yang mempunyai keturunan: 1. Almarhumah Wa Ihat yang garis keturunannya sampai ke keluarga Haji Yayan di Tipar. 2. Almarhum Mualim Endang Hasbullahuddin yang garis keturunannya sampai ke keluarga Kang Uit, keluarga Amang Oyok, keluarga Oga, keluarga Ogi.

Kelima, Almarhumah Nih Oyot di Gandasoli yang mempunyai keturunan: 1. Almarhum Endang Kartobi di Cianjur. 2. Bi Nunung di Gandasoli. 3. Mang Daman di Gandasoli. 4. Bi Nining di Gandasoli.

Keenam, Almarhumah Umi Haji Syafaah yang mempunyai keturunan: 1. Almarhumah Bi Abad yang mempunyai keturunan menyebar di wilayah Simpang Cikondang. 2. Almarhumah Ma Oleh yang keturunannya sampai ke kelauarga Ceu Mamah di Rawasalak, keluarga Teh Yati di Balandongan Kidul, keluarga Kang Eman di Sampora, keluarga Kang Wewen di Cikundul. 3. Almarhumah Bi Edah Mang Karja yang garis keturunannya sampai ke keluarga Almarhum Kang Aos yang mempunyai anak Dede Tipar, keluarga Kang Kunang Sampora, dan keluarga Kang Nana Sampora. 4. Almarhumah Ma Itoh yang garis keturunannya sampai ke keluarga Kang Dadang Iyen di Gunung Jaya, keluarga Bah Tutang, keluarga Kang Edep dan keluarga Kang Iyang Cicadas. 5. Almarhum Ma Yoyoh yang garis keturunannya sampai ke keluarga Almarhum Pak Guru Jajat, Almarhum Pak Guru Tatang, Almarhum Teh Ida Adman Mantan Lurah Sudajaya Hilir, dan keluarga Teh Rini di Purwakarta. 6. Almarhumah Ma Tita yang garis keturunannya sampai ke keluarga Almarhum Aep Ceu Liah, keluarga Teh Iis Bang Amir, keluarga Kang Ujen Lebak Siuh, keluarga Teh Ipit, keluarga Kang Bubun, keluarga Kang Agus, keluarga Kang Deudeu Aziz Muslim, keluarga Kang Ule Sudirman. 7. Almarhum Mang Nasir yang garis keturunannya sampai ke keluarga Teh Lilis Mang Eed, keluarga Teh Ijan Mang Kohar, keluarga Teh Mimin Oim, dan keluarga Kang Rizal Wetan. 8. Almarhum Mang Burhan yang garis keluarganya sampai ke keluarga Kang Yayan di Gunung Guruh, keluarga Kang Asep di Sala Awi, keluarga Teh Jeni di Rambay, keluarga Teh Dewi di Bekasi, keluarga Teh Santi di Jawa Tengah, dan keluarga Kang Peni di Kadu Dampit. 9. Almarhum Mang Enyang yang garis keturunannya sampai ke keluarga Kang Agus, keluarga Teh Usi Lio, keluarga Teh Ike di Padang Pariaman, keluarga Bunda Heni, dan keluarga Teh Eneng di Lio. 10. Almarhum Mang Iim yang garis keturunannya sampai ke keluarga Teh Dedeh di Limus Nunggal.

Ketujuh, Almarhum Haji Sambas yang mempuntai keturunan: 1. Almarhumah Wa Jajah yang menikah dengan almarhum Mualim Zakariya yang keturunanya sampai ke keluarga almarhum Kang Mamat, keluarga Ust. Asep Jamil, keluarga almarhum Kang Wawan, dan keluarga Uts. Ujang Dedi. 2. Almarhumah Haji Nurjannah yang menikah dengan Almarhum Haji Burhan, yang keturunannya sampai ke keluarga Kang Dadang di Cipoho, keluarga Haji Usep di Tegalaya, keluarga Teh Neneng, keluarga Haji Lilis, keluarga Teh Cucu hingga keluarga almarhum Kang Yudi. 3. Almarhum Wa Ubeb yang garis keturunannya sampai ke keluarga Teh Haji Eti di Tangerang dan keluarga Teh ida. 4. Almarhum Wa Haji Acep yang menikah dengan Almarhumah Haji Cucum Jeruk Nyelap yang keturunannya sampai ke keluarga Teh Nenden di Benteng, keluarga Kang Yusep, keluarga Kang Iwan, keluarga Kang Dasep, keluarga Kang Budi di Bogor dan kel89uarga Kang Haji Hendri. 5. Almarhum Mang Cecep Bi Euis yang garis keturunanya sampai ke keluarga Dede di Pabuaran dan keluarga Wahyu di Pabuaran.  6. Almarhum Wa Qodir yang menikah dengan almarhumah Bi Imas Cicadas yang keturunannya sampai ke keluarga Kang Denih Baros dan keluarga Kang Riki. 7. Wa Haji Atih yang menikah dengan Wa Haji Engkos Tegal Lega yang keturunannya sampai ke keluarga Kang Wawan dan keluarga Teh Enan di Tegal Lega. 8. Haji Sopiah yang menikah dengan Almarhum Haji Abas Bhaskara yang keturunannya sampai ke keluarga Evi Yulianti yang menikah dengan Kolonel. Arh. Saepul MG, keluarga Ust. Yudha yang menikah dengan Nurhidayah Bima NTB dan keluarga Santy Rahmawati yang menikah dengan Handi Sadikin Nyomplong. 9. Bi Iis Hudhori yang keturunannya sampai ke keluarga Kang Ruli di Cipanengah, keluarga Pipik di Cibadak, keluarga Randi hingga keluarga Rafli di Cikidang. 10. Bi Haji Eni yang menikah dengan almarhum Mang Wawan yang keturunannya sampai ke keluarga Wega di Pabuaran, keluarga Wili di Cipoho dan keluarga Wenda di Surabaya.

Dan dari istri keempatnya yang bernama almarhumah Ma Enyeng, Ama Haji Umar mempunyai lima orang anak:

Pertama, Almarhum  Aki Adun Sobana yang mempunyai keturunan: 1. Almarhum Wa Ahmad yang keturunannya sampai ke keluarga Almarhum Kang Anut adik ipar Umi Popon Almarhum Mualim Usman. 2. Almarhumah Wa Iti yang garis keturunannya sampai ke keluarga Almarhum Kang Udin di Balandongan Kidul dan keluarga Kang Apep di Balandongan Kidul. 3. Ma Ihat yang garis keturunannya sampai ke keluarga Teh Teti Bajuri, keluarga Almarhum Kang Oji, keluarga Ceu Cacih,dan Almarhumah Khodijah. 4. Almarhumah Wa Ikah yang garis keturunannya sampai ke keluarga Kang Upay, keluarga Mang Eed, keluarga Almarhumah Ceu Yayat (yang mempunyai anak diantaranya Teh Ida, dan Teh Meti , yang menikah dengan Hardian Wiracahya Kepala Bank Supra), keluarga Kang Entis, keluarga Kang Dana di Baros dan keluarga Kang Eman di Kebon Kawung.

Kedua, Almarhumah Ma Uki yang mempunyai keturunan: 1. Almarhum Kang Damhuri di Pasapen Palabuhan Ratu. 2. Almarhum Ma Erum Rumsiah yang keturunannya sampai ke keluarga Mang Midin (yang mempunyai anak Aziz Muslim, Budi, Sinta, Anis, Dewi dan Syafa). 3. Almarhum Ma Ojan Khozanah yang keturunannya sampai ke keluarga Kang Dadang (yang mempunyai anak Teh Oneng Abah Adam, Hera Ramdan, Ule di Bogor, Heru, Otoy dan Dede), keluarga Almarhumah Ceu Nenih (yang mempunyai anak Teh Yani Wandi), keluarga Kang Ujang Niriyana (yang mempunyai anak Ramdhan). 4. Abah Bukhori di Pasapen yang keturunannya sampai ke keluarga Kang Iwan di Warung Kiara, keluarga Teh Heni di Cipanas dan keluarga Kang Jamil di Cikandeh Ciletuh.

Ketiga, Almarhum Aki Romli yang mempunyai keturunan: 1. Abah Basuni yang keturunannya sampai ke keluarga Umi Mamas. 2. Almarhum Ceu Ipit yang keturunanya sampai ke keluarga kang Karim di Cicadas. 3. Ma Elim yang keturunannya sampai ke keluarga Teh Ibad, dan keluarga Kang Engkos Gomreng. 4. Ma Jue yang keturunannya sampai ke keluarga Kang Iyus, dan keluarga Kang Dewew, Depi, Imas. 5. Abah Manaf yang menikah dengan Ma Icoh yang keturunannya sampai ke keluarga Kang Yanto Angkot, keluarga Kang Ikin.

Keempat, Almarhum Aki Hasid yang mempunyai keturunan: 1. Almarhum Ma Iyah yang keturunannya sampai ke keluarga Teh Ihah Mbep, keluarga Haji Ugan di Purwakarta, keluarga Teh Atih di Kadulawang dan keluarga Teh Elin di Kadulawang. 2. Almarhum Mualim Ejen yang keturunannya sampai ke keluarga Kang Asep dan keluarga Ujang Otong. 3. Almarhum Kang Olib yang garis keturunannya sampai ke keluarga Teh Rina di Cicadas dan keluarga Kang Ujang di Liung Tutut. 4. Bah Icad. 5. Ma Enur. 6. Ma Aam. 7. Almarhum Mang Utar.

Kelima, Almarhumah Ma Enab yang mempunyai keturunan: 1. Almarhumah Ceu Ki’ah Cikundul. 2. Almarhum Kang Ma’sum di Pangkalan. 3. Ma Siah yang keturunannya sampai ke keluarga Kang Emi. 4. Kang Kohar di Cijangkar.

Sehingga bisa dimengerti jika hampir seluruh warga Balandongan masih satu darah karena merupakan keturunan dari Almarhum Ama Haji Umar yang berbeda garis nasab dari ibu karena Ama Haji Umar semasa hidupnya menikah hingga empat kali dan seluruhnya melahirkan anak, cucu hingga cicit sampai sekarang.

Warisan Ama Haji Umar

Meski dikenal mempunyai banyak anak dan istri, namun Ama Haji Umar merupakan suami yang sangat bertanggung jawab. Seluruh istri dan keturunannya diberikan warisan berupa rumah, sawah maupun kebun. Begitu luasnya tanah yang dimiliki Ama Haji Umar, sehingga cucu dan cicit Ama Haji Umar hingga kini masih bisa menikmati sisa-sisa tanah warisan peninggalan Ama Haji Umar.

Banyak kisah yang diceritakan secara turun temurun terkait luasnya tanah Ama Haji Umar. Satu versi menyebutkan kala itu Ama Haji Umar keturunan orang terkaya di wilayah Sukabumi Cianjur yang kala itu dipimpin karesidenan oleh Balandongan sehingga seluruh tanah dibelinya. Saking banyaknya uang yang dimiliki Ama Haji Umar, sampai-sampai harus mengubur uangnya di kebun untuk mengelabui penjajah yang kerap merampas harta pribumi.

Sedangkan versi lain menyebutkan pada masa itu, wilayah Balandongan merupakan pusat Kota Sukabumi. Sehingga banyak jawara yang berdatangan dari berbagai wilayah untuk mengadu ilmu kanuragan di pusat Kota Sukabumi ini. Ama Haji Umar salah satu diantara jawara yang datang dari Banten dan berhasil mengalahkan jawara-jawara lainnya sehingga tanah miliknya menjadi yang paling luas.

Namun apapun cerita turun temurun tersebut, fakta di lapangan, tanah warisan Ama Haji Umar memang masih bisa disaksikan hingga sekarang. Sebagian anak dan keturunan Ama Haji Umar hingga kini masih memiliki tanah warisan Ama Haji Umar tersebut. Tidak hanya di Balandongan, melainkan menyebar dari wilayah gedong panjang, pasir pogor hingga lembur pasir.

Bahkan hingga kini tanah warisan Ama Haji Umar tersebut telah pindah tangan turun temurun hingga cucu dan cicitnya yang tersebar di wilayah kelurahan Sudajaya Hilir dan sekitarnya. Walaupun sebagian lainnya telah dijual dan berpindah tangan keluar garis keturunan Ama Haji Umar.

Periode Awal Masjid Jami Ama Haji Umar

Selain kaya raya, Ama Haji Umar juga dikenal agamis bahkan sebagian menyebutnya Mualim atau Kyai. Di masa hidupnya, Ama Haji Umar sempat mewakafkan sebagian tanah miliknya untuk dijadikan masjid yang akan menjadi cikal bakal Masjid Jami Ad-Dawah yang kini berdiri megah. Meski tidak ada yang tahu secara pasti kapan Ama Haji Umar pertama kali mendirikan masjidnya, namun diperkirakan Ama Haji Umar telah mendirikan masjid ini sebelum tahun 1850-an Masehi. Sebab di batu nisan almarhum yang berada di Pemakaman Umum Pangkalan yang juga tanah wakafnya, tertulis tahun wafat almarhum tahun 1137 Hijriyah atau 302 tahun yang lalu.

Tahun 1137 Hijriyah Jika dikonversi ke tahun Masehi maka sama dengan tahun 1716 Masehi. Jadi bisa ditarik benang merah jika masjid yang didirikan Ama Haji Umar ini merupakan masjid Jami tertua yang ada di sekitar wilayah Kelurahan Sudajaya Hilir dan sekitarnya. Pada saat itu menurut para orang tua, warga yang berada di sekitar Lio, Cicadas, Ciwaringin, Pasir Pogor, Pangkalan dan Lembur Pasir, melaksanakan shalat Jumat di Masjid Jami Ama Haji Umar ini.

Pertama kali didirikan, konstruksi masjid yang dibangun Ama Haji Umar tidak semewah sekarang. Namun masih menggunakan bilik bambu dengan design bangunan panggung layaknya rumah tradisional sunda pada masa itu. Lantai masjid masih menggunakan anyaman bambu atau dalam bahasa sunda disebut talupuh dengan luas bangunan diperkirakan sekitar 6m X 9m yang berada di tengah kebun agak menjorok kedalam dari jalan utama.

Meski ukurannya relatif kecil, namun masjid ini sudah menyandang masjid Jami yang digunakan untuk shalat Jumat. Hal ini sangat memungkinkan karena jumlah penduduk pada masa itu masih sangat sedikit. Masyarakat yang kala itu tinggal di sekitar Balandongan seperti  Lio, Cicadas, Ciwaringin, Pasir Pogor, Pangkalan dan Lembur Pasir, melaksanakan shalat Jumat di masjid yang didirikan oleh Ama Haji Umar ini. Sehingga pada masa itu masyarakat mengenal masjid ini dengan sebutan Masjid Jami Ama Haji Umar karena dibangun oleh Ama Haji Umar di tanah milik Ama Haji Umar sendiri.

Di masa Ama Haji Umar, masjid ini sempat digunakan sebagai basis perjuangan kemerdekaan. Termasuk seluruh anak-anak Ama Haji Umar dikenal aktif memperjuangkan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Diantaranya anak bungsu Ama Haji Umar, almarhum Haji Sambas.

Haji Sambas yang juga anak bungsu Ama Haji Umar, terlebih dahulu hijrah dari Balandongan ke wilayah Cipoho, usai dikejar-kejar tentara Kolonial di masa pendudukan Belanda dan Jepang. Haji Sambas yang waktu itu masih bernama Soma, sampai harus mengganti namanya usai pulang menjalankan ibadah haji ke tanah suci, menjadi Haji Sambas guna menghilangkan jejak dari kejaran tentara Kolonial.

Hal ini mengakibatkan keturunan almarhum Haji Sambas dan keturunan Ama Haji Umar lainnya yang kebanyakan sejak lama tinggal menetap di Balandongan harus kembali saling dikenalkan karena sempat terputus hubungan keluarga usai kepindahannya ke wilayah Cipoho. Dan memasuki tahun 1999, keturuan almarhum Haji Sambas mulai banyak yang kembali membangun rumah dan tinggal menetap bersama keturunan Ama Haji Umar lainnya di Balandongan.

Estafet Kasepuhan Masjid

Sejak kalipertama didirikan. Masjid ini dikasepuhan oleh Ama Haji Umar hingga wafatnya. Lantas estafet perjungan kasepuhan masjid dilanjutkan putra pertamanya yang bernama almarhum Ama Cece Asy’ari dari istri ketiganya almarhumah Umi Ucung. Di masa ini masjid sempat dijuluki sebagai masjid Jami Asy’ariyah mengambil nama belakang Ama Cece Asy’ari yang menjadi kasepuhan masjid Ama Haji Umar.  Ama Cece meneruskan perjuangan ayahandanya Ama Haji Umar memakmurkan masjid dengan manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah hingga wafatnya sekitar tahun 1960-an.

Sepeninggal almarhum Ama Cece Asy’ari,  kasepuhan masjid kemudian dilanjutkan oleh putra pertama Ama Cece Asy’ari yang bernama KH. Sulaiman. Namun karena kondisi negara sedang mengalami pergolakan dan banyaknya gerombolan yang mengincar para kyai. Maka KH. Sulaiman sekitar tahun 1965 hijrah ke wilayah Kebon Kawung setelah selamat dari incaran pembunuhan. KH. Sulaiman berhasil menyelamatkan diri dari upaya pembunuhan usai shalat subuh di masjid Ama Haji Umar.

Gerombolan yang kala itu sudah mengepungnya dan sempat masuk kedalam masjid mencari KH. Sulaiman. Qadarallah, Allah menjadikan orang-orang yang berniat jahat kepada KH. Sulaiman tidak bisa melihat keberadaan KH. Sulaiman yang sedang berada di Paimaran Imam. Maka berkat pertolongan Allah SWT, KH. Sulaiman akhirnya bisa keluar dari masjid Ama Haji Umar dengan selamat.

Untuk menjaga keselamatan keluarganya, KH. Sulaiman memutuskan hijrah ke wilayah Kebon Kawung bersama anak istrinya yang berdekatan dengan lokasi hijrah pamannya almarhum Haji Sambas. Selama hijrahnya KH. Sulaiman ke wilayah Kebon Kawung, estafet kasepuhan masjid di teruskan oleh suami adik kandungnya yang bernama almarhum Mualim Oking.

Mualim Oking merupakan suami Almarhumah Ma Ciah anak kedua almarhum Mama Cece Asy’ari adik kandung KH. Sulaiman. Di masa itu, KH Sulaiman sempat membuka pesantren di wilayah Kebon Kawung sambil melanjutkan dakwahnya pulang pergi dari Kebon Kawung ke Balandongan.

Di masa KH. Sulaiman dan Mualim Oking, khatib jum’at dan penceramah di Masjid Jami Ama Haji Umar dilakukan secara bergiliran dengan mendatangkan seluruh kasepuhan dari masjid-masjid kecil yang ada di sekitar Masjid Jami Ama Haji Umar. Dari masjid Al-Istiqomah kala itu diwakili oleh almarhum Mualim Zakariya, suami almarhumah Umi Jajah putri dari almarhum Haji Sambas, cucu Ama Haji Umar.

Dari masjid Wetan yang sekarang berubah nama menjadi masjid Jami Al-Mizan diwakili oleh almarhum Mualim Oking. Dari kyai setempat diwakili almarhum Mualim Faung. Dan dari masjid Ath-Thohiriyah diwakili oleh almarhum Mualim Sholeh atau Mualim Oleh. Serta dari masjid Tanjakan Asem diwakili oleh almarhum Mualim Aos. Sehingga seluruh masjid yang kala itu berada di sekitar Masjid Jami Ama Haji Umar menjadi terwakili dan persatuan umat sangat terasa hingga awal tahun 1977-an.

 

Masji Jami Ama Haji Umar berubah menjadi Masjid Jami Ad-Da’wah

Sepeninggal almarhum KH. Sulaiman dan Mualim Oking, estafet kasepuhan masjid dilanjutkan oleh adik kandung KH. Sulaiman yang merupakan anak kelima Mama Cece Asy’ari yang bernama almarhum Mualim Zainal Abidin atau yang dikenal sebagai Mualim Idin. Di masa Mualim Idin masjid Jami Ama Haji Umar mengalami renovasi. Dinding bagian bawahnya mulai dibangun menggunakan tembok yang terbuat dari campuran bata merah, kapur dan tanah liat yang dibakar. Sehingga bangunan masjid kala itu menjadi semi permanen.

Pada masa inilah perkembangan Islam semakin dinamis. Adakalanya terjadi perbedaan pendapat terkait masalah furuiyah atau cabang dalam ibadah sebagaimana yang terjadi pada masjid-masjid lainnya di masa perkembangan Islam kala itu. Fanatisme ke-Madzhaban masih sangat kental. Kadang kala masalah qunut dan tidak qunut bisa menjadi permasalahan serius. Untuk itulah para kasepuhan di masjid yang berada di sekitar masjid Jami Ama Haji Umar memilih mendirikan masjid Jami sendiri dan melaksanakan shalat Jumat terpisah dari masjid Jami Ama Haji Umar. Hal ini dilakukan untuk menghindari konflik horizontal antar jamaah.

Diantara yang memisahkan diri adalah almarhum Mualim Zakariya yang menjadikan masjid Al-Istiqomah menjadi Masjid Jami Al-Istiqomah dan memilih melaksanakan shalat jumat sendiri bersama jamaah masjid almarhum Mualim Oleh. Demikian pula almarhum Mualim Faung memilih mendirikan masjid sendiri bernama masjid Al-Ikhlas yang berada tak jauh dari Masjid Jami Ama Haji Umar untuk memfasilitasi jamaahnya yang bermadzhab Syafi’i yang qunut setiap shalat subuh. Dan yang masih bertahan hanyalah jamaah masjid Wetan yang tetap shalat Jumat di Masjid Ama Haji Umar hingga penghujung tahun 2016.

Memasuki tahun 1978, almarhum Mualim Idin yang berguru pada almarhum KH. Dadun Kohar Cibadak merubah nama masjid yang sebelumnya dikenal sebagai Masjid Jami Ama Haji Umar, menjadi Masjid Jami Ad-Da’wah atas saran almarhum KH. Dadun Kohar. Dan tak berselang lama, bangunan masjid kembali direnovasi menjadi bangunan permanen dengan lantai yang telah menggunakan tegel.

Namun karena kondisi perekonomian kala itu yang tidak seperti sekarang, semen dan besi sangat sulit ditemukan. Sehingga konstruksi bangunan masjid tidak menggunakan campuran semen dan besi. Melainkan hanya menggunakan kayu rasamala dan pohon kelapa sebagai tiangnya serta campuran kapur dan tanah merah yang dibakar untuk temboknya. Meski demikian, kondisi bangunan masjid tanpa besi dan semen ini mampu bertahan hingga akhir tahun 2017.

Kasepuhan almarhum Mualim Idin di Masjid Jami Ad-Da’wah berjalan hingga wafatnya pada tahun 1993. Untuk melanjutkan perjuangan dakwahnya, estafet kasepuhan masjid kemudian dilanjutkan oleh almarhum Mualim Endang Hasbullahuddin putra dari almarhum Abah Numri adik kandung almarhum Mama Cece Asy’ari yang juga cucu almarhum Ama Haji Umar dari garis keturunan Umi Ucung.

Di masa kasepuhan Mualim Endang Hasbullahuddin bangunan masjid kembali mengalami renovasi sekitar tahun 1995. Sebagian bangunan masjid mulai menggunakan besi di tiang penyangga jendelanya serta mulai menggunakan jendela kaca. Kondisi bangunan masjid yang direnovasi Mualim Endang Hasbullahudin tersebut bertahan hingga tahun-tahun berikutnya dan hanya mengalami sejumlah perbaikan dan renovasi hingga tahun 2017.

Sepeninggal almarhum Mualim Endang Hasbullahuddin, estafet perjuangan kasepuhan masjid dilanjutkan oleh almarhum Mualim Zaenal Arifin atau yang dikenal sebagai Mualim Ejen. Almarhum Mualim Ejen merupakan cicit dari almarhum Ama Haji Umar dari garis keturunan Aki Hasid anak dari istri Ama Haji Umar yang bernama almarhumah Ma Enyeng.

Selama menjadi kasepuhan masjid, Mualim Ejen didampingi oleh almarhum Mualim Usman adik kandung almarhum Mualim Oking yang tinggal di Balandongan wetan. Kasepuhan Mualim Ejen berlangsung hingga akhir hayatnya pada tahun 2004. Sepeninggal almarhum Mualim Ejen, estafet kasepuhan masjid dilanjutkan oleh suami dari cucu Ama Haji Umar, yakni almarhum H. Abas Bhaskara yang sebelumnya merupakan Ketua Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Masjid At-Taqwa yang berada di wilayah Cipoho Gang Sadar yang dibangun bersama masyarakat di Cipoho dan mertuanya almarhum Haji Sambas, anak bungsu Ama Haji Umar yang hijrah ke Cipoho di masa Kolonial.

Almarhum H. Abas Bhaskara merupakan mantan anggota RPKAD atau yang sekarang dikenal sebagai Kopassus yang menikah dengan Hj. Sopiah putri dari almarhum Haji Sambas. Almarhum hijrah dari Cipoho ke Balandongan sekitar tahun 1999 setelah pensiun dari militer dan memilih hidup bertani dan membuka toko matrial di Balandongan. Almarhum menjadi kasepuhan masjid hingga akhir hayatnya pada tahun 2008.

Sepeninggal almarhum H. Abas Bhaskara, kasepuhan masjid untuk pertama kalinya beralih keluar garis keturunan Ama Haji Umar, yakni ke Ustadz Dayat yang berasal dari Bogor. Kasepuhan diberikan keluar garis keturunan Ama Haji Umar karena keturunan Ama Haji Umar yang ada di Balandongan saat itu tidak ada yang sanggup meneruskan estafet kasepuhan masjid. Sehingga kasepuhan masjid diberikan kepada Ustadz Dayat asal Bogor.

Kasepuhan Ustadz Dayat  berjalan dari tahun 2008 setelah wafatnya almarhum H. Abas Bhaskara hingga akhir tahun 2017 atau sekitar 9 tahun. Di masa Ustadz Dayat, masyarakat secara gotong royong mengumpulkan dana patungan membeli tanah milik keluarga almarhum Mualim Idin yang berada di depan masjid dengan luas sekitar 1,52 are, agar masjid mempunyai halaman.

Hampir seluruh masyarakat Balandongan dan keluarga besar almarhum Ama Haji Umar, baik yang tinggal di Balandongan maupun yang sedang merantau bekerja di luar pulau jawa dan luar negeri, ikut terlibat mengirimkan uangnya untuk dititipkan melalui keluarganya yang berada di Balandongan. Hingga akhirnya masjid bisa mempunyai halaman dan posisi masjid tidak lagi berada di dalam gang melainkan berada di sisi jalan kampung yang juga dirintis oleh Ama Haji Umar.

Pembangunan Ulang Masjid Jami Ad-Da’wah

Memasuki tahun 2015, salah seorang cicit Ama Haji Umar bernama Ust. Yudha yang merantau bekerja sebagai jurnalis di media televisi nasional selama 10 tahun di Pulau Sumbawa Nusa Tenggara Barat kembali ke Balandongan untuk menemani ibunya Hj. Neneng Sopiah. Kepindahan Ust. Yudha dari Sumbawa ke Balandongan karena wilayah pekerjaannya yang semula di Pulau  Sumbawa, dipindahkan oleh pihak kantornya ke wilayah Tangerang.

Saat mengetahui kepindahan cicit Ama Haji Umar, Ust. Dayat yang juga mengaji di Majelis Ta’lim milik Hj. Neneng Sopiah, ibunda Ust. Yudha, memintanya untuk bergabung memakmurkan masjid, karena masih keturunan Ama Haji Umar dan mempunyai background pesantren selama enam tahun di PP. Daaruttaqwa Cibinong Bogor dan PP. Almasthuriyah Sukabumi serta lulusan Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tawaran itu ditolaknya dengan alasan tidak berani menambah beban tanggungjawab nanti di akhirat dan masih sibuk bekerja untuk menafkahi anak istri dan keluarganya. Namun tiga bulan kemudian, saat akan Shalat Jumat, di hadapan jamaah shalat Jum’at, Ust. Dayat mengumumkan sendiri  jika Jum’at depan akan ada khatib baru bernama Ust. Yudha anak dari almarhum H. Abas Bhaskara yang juga cicit Ama Haji Umar dan akan mulai menjadi khatib pada Jumat berikutnya.

Ust. Yudha yang waktu itu masih bekerja di media televisi nasional SCTV, mau tidak mau harus mulai membagi waktunya antara pekerjaan dan tugas menjadi khatib Jumat dan penceramah pekanan di pengajian jamaah bapak-bapak dan ibu-ibu serta remaja di Masjid Jami Ad-Da’wah. Dan pada tahun 2016 kemudian ditetapkan menjadi Wakil Ketua DKM mendampingi ustadz Dayat.

Di masa itulah rencana yang semula baru sebatas wacana untuk membangun ulang Masjid Jami Ad-Da’wah dari nol mulai direalisasikan. Seluruh pengurus dan jamaah masjid dikumpulkan di dalam Masjid Jami Ad-Da’wah untuk musyawarah bersama terkait wacana pembangunan ulang masjid. Saat itu pembangunan ulang harus dilakukan karena kondisi bangunan masjid yang sudah tua dan mulai rapuh, sehingga bisa membahayakan generasi selanjutnya.

Rencana ini sempat menjadi pro dan kontra. Sebagian tokoh masyarakat mengangap bangunan masjid masih layak dan seharusnya dana yang sudah terkumpul dijadikan dana produktif untuk memberi modal usaha jamaahnya. Namun asumsi ini ditentang  oleh kepengurusan masjid saat itu. Bahkan Ust. Yudha yang kala itu masih menjadi Wakil Ketua DKM langsung mendatangi sebagian Tokoh Masyarakat tersebut dan menjelaskan terkait kondisi masjid yang sebenarnya.

Kepengurusan masjid kala itu bersikeras, masjid harus dibangun ulang karena diperkirakan lima atau sepuluh tahun kedepan bangunan masjid akan ambruk. Sehingga generasi selanjutnya akan menanggung beban untuk membangun ulang masjid. Maka beban berat itu harus diambil alih oleh generasi sekarang, agar anak cucu generasi selanjutnya hanya tinggal menikmati dan fokus beribadah di masjid yang sudah dibangun oleh leluhurnya.

Dari hasil musyawarah yang dilakukan di dalam masjid yang dihadiri hampir seluruh tokoh masyarakat, diputuskanlah jika masjid akan dibangun ulang. Untuk sementara pendanaan akan dilakukan secara swadaya melibatkan seluruh jamaah masjid, tanpa mengharap bantuan dari luar seperti dana hibah dari Arab ataupun bantuan instansi tertentu. Segala sumber daya jamaah pun diberdayakan dengan berbagai cara, demi terkumpulnya dana untuk pembangunan ulang masjid.

Sebagian jamaah ada yang menyanggupi ikut mengumpulkan dana melalui kotak amal yang disimpan di rumah masing-masing sebesar 2.000 rupiah perhari yang disebut dengan Koropak 2000. Diantara yang turut mengumpulkan Koropak 2000 adalah: Kang Asep, Teh Nur, Wa Mpok, Kang Ian, Wa Teti, Wa Iyus, Teh Adawiah, Wa Titin, Teh Ulvi, Teh Elis, Teh Ade, Teh Evi, Teh Nani, Teh Hera, Teh Ike, Ma Nur, Teh Ule, Ceu Iis, Teh Deti, Bu May, Bu Ida, Bu Dewi, Teh Nyai, Wa Mamas, Teh Emut, Kang Hendra, Teh Neng, Teh Neneng Uus, Bi Anah, Teh Sinta, Wa Empuy, Teh Leni, Teh Elis Deden, Teh Nyai Mariah, Kang Engkos, Teh Yani dan Teh Beti.

Namun setelah program koropak 2000 berjalan, ternyata jumlah yang didapatkan tak bisa menutupi biaya pembangunan karena setiap satu pekan hanya terkumpul antara 1 juta rupiah hingga 1,5 juta rupiah. Sementara untuk biaya gaji pekerja saja mencapai 6 juta hingga 7 juta rupiah per pekan, belum lagi biaya belanja kebutuhan matrial selama pembangunan.

Jikapun tetap dipaksakan, maka pembangunan masjid bisa dilakukan paling cepat antara 6 hingga 10 tahun jika hanya mengandalkan Koropak 2000, atau bahkan bisa lebih lama lagi. Artinya masyarakat akan terbebani selama 10 tahun lebih untuk pembangunan masjid, karena rencana anggaran bangunan diperkirakan mencapai lebih dari 1,2 Miliar Rupiah.

Maka digagaslah membentuk tim pencari dana yang beroperasi di Jalur Lingkar Selatan sebagai dukungan dana pembangunan agar estimasi lamanya waktu pembangunan bisa dipercepat antara 3 sampai 4 tahun. Pembentukan tim pencari dana di Jalur Lingkar Selatan awalnya menerapkan sistem komisi. Yakni tim pencari dana langsung mengambil uang komisi dari hasil infak sebesar 20% dari pendapatan.

Namun setelah dikaji secara fiqih, hal tersebut masuk tasawwul atau meminta-minta yang diharamkan. Maka Ust. Yudha merubah sistem komisi 20% tersebut menjadi sistem gaji. Tim pencari dana di Jalur Lingkar Selatan statusnya sebagai pegawai masjid yang ditugaskan mencari dana untuk pembangunan dan digaji oleh masjid sebesar 70 ribu rupiah perorang perhari. Selain lebih besar pendapatannya juga lebih maslahat bagi tim pencari dana dan pembangunan masjid.

Sebagai bentuk motivasi untuk masyarakat, sebelum shalat Idul Fitri pada tahun 2017, Ust. Yudha berbicara di depan ratusan jamaah Masjid Jami Ad-Dawah terkait rencana pembangunan ulang masjid dengan menyatakan keluarganya siap menyediakan seluruh bata merah selama pembangunan masjid hingga selesai. Motivasi ini laksana gayung bersambut, para Aghniya yang ada di masjid Jami Ad-Da’wah, dan para Pembina Masjid, turut mengulurkan tangannya dengan menyumbangkan sebagian hartanya untuk pembelian matrial pembangunan masjid sesuai dengan kemampuannya.

Diantara yang turut mensuplay matrial bangunan masjid adalah Keluarga besar Hj. Sopiah cucu Ama Haji Umar dan keluarga Kolonel. Saepul MG yang bersedia membantu pembangunan masjid dengan menyediakan puluhan ribu bata merah hingga pembangunan selesai, ratusan sak semen serta sejumlah truck pasir dan split untuk pengecoran. Demikian pula keluarga besar Pembina Masjid lainnya yakni keluarga H. Asep Syamsuddin turut memberikan dana cash pada awal pembangunan, sejumlah matrial, kelistrikan dan suplay konsumsi selama pengecoran masjid dari awal hingga selesai.

Pun para pembina masjid lainnya seperti Bapak Hardian Wiracahya turut memberikan dana pribadinya serta menggalang dana dari relasinya, serta Hj. Lilis Haji Burhan selaku cicit Ama Haji Umar yang turut mewakafkan granit untuk sebagian lantai satu. Keluarga besar almarhum Mualim Endang Hasbullahuddin yang turut menyumbangkan hartanya demi terlaksananya pembangunan ulang masjid. Keluarga besar almarhumah Hj. Zubaidah. Serta seluruh jamaah masjid Ad-Da’wah yang ikut mengisi Koropak 2000 seluruhnya ikut berjuang demi selesainya pembangunan masjid ini.

Periode Awal Pembangunan Ulang Masjid

Tepatnya pada tanggal 9 Juli 2017 bertepatan dengan tanggal 15 Syawwal 1438 Hijriyah, masjid jami yang didirikan oleh Ama Haji Umar mulai dibangun ulang. Dengan dana awal yang terkumpul sekitar 180 juta rupiah, pembangunan masjid dimulai dengan mempekerjakan sekitar 12 pekerja bangunan. Proses pembangunan dilakukan secara bertahap, bangunan lama tidak langsung dirubuhkan agar jamaah bisa tetap melaksanakan shalat lima waktu dan pengajian, tetapi bangunan  baru didirikan di luar bangunan lama dengan sistem “Gelong” atau ditelan.

Pembangunan dimulai dari bagian depan masjid dengan mengutamakan tempat wudhu agar jamaah bisa leluasa mengambil air wudhu meski pembangunan sedang berjalan. Selama proses pembangunan ulang ini, ketidak nyamanan beribadah sangat terasa. Walaupun masjid masih bisa digunakan untuk kegiatan shalat lima waktu dan pengajian. Namun kegiatan shalat jumat tidak bisa dilaksanakan karena atap bangunan sudah mulai dirobohkan dan sangat membahayakan jamaah. Sehingga pelaksanaan shalat Jumat terpaksa dipindahkan ke halaman rumah pembina masjid H. Asep Syamsuddin untuk menjaga keselamatan jamaah.

Selain atap yang sudah dirobohkan, kondisi tembok bangunan utama yang sudah rapuh juga sangat membahayakan. Bangunan utama masjid tidak menggunakan besi sebagai tiangnya melainkan hanya menggunakan kayu rasamala dan pohon kelapa yang sudah dibangun sejak tahun 1978-an atau telah berusia 39 tahun.

Hanya karena adanya perlindungan dari Allah-lah bangunan lama masjid masih bisa tegak berdiri meski sudah beberapa kali mengalami gempa bumi. Padahal saat dirobohkan pada tahun 2017, tembok bangunan utama masjid begitu mudahnya roboh. Hanya sekali dorong menggunakan bambu, tembok bangunan utama masjid yang dibangun sejak tahun 1978-an itu langsung rata dengan tanah.

Hari berganti, bulan berjalan. Tanpa terasa pembangunan telah berjalan selama enam bulan. Namun progres pembangunan terasa sangat lambat. Meski selama enam bulan itu masyarakat “diwajibkan” menyediakan makanan untuk pekerja bangunan. Namun kinerja para pekerja dinilai lambat dan banyak menuai kritikan dari masyarakat.

Untuk pembangunan tempat wudhu dan toilet saja, selama satu bulan setengah tidak selesai sehingga membuat Uts. Yudha berang dan memarahi para pekerja. Setelah dimusyawarahkan dengan pengurus dan masyarakat. Maka untuk sementara pekerjaan pembangunan masjid dihentikan.

Masyarakat diberikan kesempatan untuk mencari tim pekerja baru menggantikan tim pekerja lama agar sesuai dengan kehendak masyarakat. Namun setelah satu pekan diliburkan, belum juga menemukan tim pekerja yang baru, maka Ust. Yudha menghubungi tim pekerja dari Parung Seah agar pembangunan ulang masjid bisa segera dimulai kembali. Sehingga terkumpul lah sekitar 10 orang pekerja yang  diberikan pengarahan agar bekerja secara sistematis, cepat dan efektif. Dengan konsekuensi jika banyak menuai kritikan dari masyarakat akan siap diberhentikan kapanpun.

Beban masyarakat yang selama ini harus menyediakan jamuan makan untuk pekerja senilai 100 ribu rupiah per kepala keluarga juga dihapuskan oleh Ust. Yudha karena banyaknya keluhan dari masyarakat. Seluruh pekerja diterapkan sistem “lepasan” tidak lagi disuguhi jamuan makan. Akan tetapi masyarakat yang tetap ingin memberi makanan dan menyumbang ke masjid bisa mengantarnya sendiri, atau menggantinya dengan uang seikhlasnya yang akan dipergunakan untuk pembelian bahan matrial bangunan masjid.

Di saat pembangunan masjid baru berjalan 20%, tepatnya pada tanggal 22 Desember 2017 di hadapan masyarakat sebelum shalat jumat Ustadz Dayat menyatakan mengundurkan diri sebagai ketua DKM karena alasan sakit di bagian kepala dan tidak lagi sanggup mengurusi pembangunan masjid.  Untuk menghindari kekacauan saat proses pembangunan, maka tanggungjawab pembangunan dilanjutkan sementara oleh wakil Ketua DKM Ust. Yudha.

Pembangunan ulang Masjid Jami Ad-Da’wah tetap berjalan dan diusahakan agar memberikan progres yang memuaskan untuk masyarakat. Segala bentuk pengeluaran yang tidak perlu dihapuskan oleh Ust. Yudha demi efisiensi anggaran. Pekerjaan bangunan dilakukan secara sistematis dengan dikomandoi langsung oleh Ust. Yudha. Setiap pagi para pekerja dikumpulkan dan dilakukan pembagian tugas masing-masing agar pekerjaan pembangunan masjid yang baru berjalan 20% bisa segera diselesaikan.

Pekerjaan mulai menggunakan sistem target per-minggu. Setiap pekerja diharuskan menyelesaikan pekerjaannya sesuai target agar pembangunan masjid bisa dipercepat. Sehingga masyarakat pun turut terpancing semangatnya dan selalu hadir setiap kali diumumkan kerja bhakti di masjid.

Tak berselang lama, sebanyak 13 orang atas nama tokoh masyarakat Balandongan yakni. H. Asep Syamsuddin, Uwen Juweni, Aih Susandi, Hendra Bachtiar, Ujang Syarifudin, Babas, Acu, Nandar, Adi Supyan, Wahyu, Abah Oman, Hilman, dan Abah Rokib membuat petisi dengan tanda tangan mengangkat ust. Yudha Bhaskara, SHI sebagai Ketua DKM Masjid Jami Ad Da’wah menggantikan Ust. Dayat. Keputusan hasil musyawarah masyarakat ini diumumkan sendiri oleh Ust. Dayat dihadapan ratusan jamaah saat shalat jumat di halaman rumah H. Asep Syamsuddin.

Keputusan ini sempat ditolak oleh Ust. Yudha karena pada awalnya hanya dipersiapkan untuk menggantikan sementara tugas Ketua DKM yang sakit, bukan menggantikan secara permanen. Terlebih begitu beratnya tanggung jawab memimpin masjid yang baru saja dirubuhkan.

Kondisi masjid yang baru 20% progres pembangunannya, dipastikan akan memerlukan perjuangan panjang dan sangat menyita waktu untuk bisa kembali tegak berdiri. Namun setelah shalat istikharah meminta petunjuk pada Allah dan bermimpi sebanyak tiga kali, dan atas bujukan pembina masjid H. Asep Syamsuddin, akhirnya Ust. Yudha menerima tanggungjawab berat melanjutkan pembangunan masjid dan kepemimpinan DKM Masjid Jami Ad-Da’awah sepenuhnya.

Keraguannya mereda setelah dari hasil istikharahnya diperlihatkan dalam mimpinya bertemu dengan seseorang yang membawanya keliling Masjidil Haram, Air Zam-zam dan Ka’bah. Kemudian bermimpi lagi melihat kondisi masjid sudah jadi lengkap dengan kubahnya. Saat masuk kedalam masjid dalam mimpinya, melihat almarhum ayahandanya H. Abas Bhaskara bersama sembilan orang lainnya yang diperkirakan kasepuhan masjid, seluruhnya memakai pakaian serba putih, dan surban putih sedang berdzikir berkumpul di dalam masjid dan seluruhnya melihat ke arah Ust. Yudha sambil tersenyum.

Dan terakhir Ust. Yudha bermimpi saat melihat pengecoran lantai tiga, atap masjid roboh. Untuk mimpi yang ketiga ini langsung diberitahukan kepada para pekerja bangunan dan diperintahkan agar memperkuat tiang penyangga coran untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkan.

Namun qadarallah, pada saat pengecoran lantai tiga mimpi itu terjadi, dua lembar bondek rubuh dan menjatuhkan sekitar empat molen coran semen ke lantai dua dengan suara dentuman yang sangat keras hingga seluruh pekerja dan masyarakat yang sedang gotong royong di lantai tiga dan lantai dua berlarian menyelamatkan diri ke lantai dasar, beruntung pada saat kejadian itu tidak sampai jatuh korban jiwa.

Kepemimpinan Cicit Ama Haji Umar

Ust. Yudha Bhaskara, SHI merupakan cicit kandung almarhum Ama Haji Umar. Mempunyai ibu bernama Hj. Neneg Sopiah yang menikah dengan almarhum H. Abas Bhaskara purnawirawan RPKAD. Hj. Neneng Sopiah merupakan anak kandung dari Haji Sambas. Dan Haji Sambas adalah anak bungsu Ama Haji Umar dari istri ketiganya Umi Ucung.

Dibawah kepemimpinan Ust. Yudha, pembangunan masjid yang baru berjalan 20% dilanjutkan. Seluruh pekerja bangunan yang dinilai kurang produktif, diganti untuk efisiensi anggaran dan kecepatan proses pembangunan. Seluruh pemasukan dan pengeluaran keuangan masjid didata ulang dan dipisahkan antara dana pembangunan masjid dengan dana kas operasional masjid, agar kegiatan masjid bisa tetap berjalan meskipun sedang menjalani pembangunan.

Sumber dana pembanguna masjid dikhususkan dari Koropak 2000, penggalangan dana di Jalur Lingkar Selatan, Uang Penggani Ransum dan infak pribadi masyarakat. Sementara uang dari kotak amal Hari Jumat, pengajian Bapak-bapak dan pengajian ibu-ibu dikhususkan untuk Kas Operasional Masjid serta Kas Anak Yatim. Sehingga seluruh kegiatan masjid bisa tetap berjalan meski masjid sedang dalam tahap pembangunan ulang.

Laporan keuangan pun direformasi. Pengelolaannya wajib tranfaran dan akuntable. Bagi pengurus yang tidak sanggup akan diganti oleh pengurus yang memiliki kapasitas dan kapabilitas di bidangnya. Setiap pemasukan dan pengeluaran keuangan harus dibuka seluas-luasnya kepada masyarakat. Bahkan laporan keuangan dirubah total dan dibuka seluas-luasnya ke khalayak umum dengan cara diumumkan setiap hari Jumat dan disebarkan secara online melalui media Whats Apps Grup Masjid dalam format pdf.

Kepengurusan diharuskan mengedepankan pelayanan kepada jamaah bukan untuk dilayani. Sistem gaji perbulan mulai diterapkan kepada empat pengurus masjid yang selama ini menangani kebersihan dan muadzin sesuai dengan kemampuan masjid kala itu. Untuk Imam shalat subuh diharuskan digilir karena selama ini jamaah masjid yang qunut merasa tidak terwakili, sehingga imam shalat subuh harus digilir antara yang qunut dan yang tidak qunut.

Bagi jamaah yang ingin shalat qabliyah sebelum khutbah jumat juga diberikan waktu. Sehingga semua pihak merasa diberikan kesempatan yang sama. Kegiatan pengajian Yasinan malam Jumat diaktifkan kembali dan peringatan malam Nisfu Sya’ban serta shalat gerhana bulan dan gerhana matahari digalakan.

Menjelang Idul Fitri, seluruh jamaah teladan yang istiqomah shalat berjamaah di masjid Jami Ad-Da’wah dan yang rajin kerja bhakti selama pembangunan masjid diberikan insentif berupa baju koko, kain sarung dan mukena baru untuk lebaran. Ini dilakukan sebagai bentuk penghargaan Masjid kepada jamaahnya yang sangat ansias memakmurkan masjid dan turut kerja bhakti selama pembangunan.

Penghargaan atau reward itu sejatinya tak seberapa jika dibandingkan dengan perjuangan masyarakat untuk menyelesaikan pembangunan masjid. Namun itu dilakukan sebagai bentuk kepedulian meskipun masjid sedang menjalani masa pembangunan. Masyarakat kala itu tak perduli panas dan hujan, setiap kali diumumkan kerja bhakti, masyarakat selalu datang berbondong-bondong sehingga pembangunan masjid benar-benar sangat terbantu berkat adanya bantuan dari seluruh jamaah masjid yang rela mengorbankan waktu dan tenaganya untuk kerja bhakti di Masjid Jami Ad-Da’wah.

Sebagai timbal balik dan untuk meringankan beban masyarakat. Ust. Yudha juga menghapuskan pungutan uang kematian. Tetapi dengan jaminan seluruh Jamaah Masjid Ad-D’awah yang meninggal dunia tetap akan ditanggung seluruh biaya pemulasaraan jenazahnya berupa pemandian mayit, kain kafan dan biaya penguburan jenazah oleh Masjid. Dan setiap satu bulan sekali jamaah yang istiqomah shalat berjamaah di masjid diberikan penghargaan secara bergilir agar kebutuhan alat rumah tangganya sedikit terbantu. Diantaranya dengan membagikan rice cooker, mixer, blender, kompor gas, dispenser, setrika dan lain sebagainya agar jamaah semakin semangat shalat berjamaah.

Sunnatullah pun terjadi, ketika seseorang lebih menyenangi hal yang sifatnya ukhrawi, maka dunia akan menjauh darinya. Terlalu asik dengan kegiatan di masjid, konsentrasi Ust. Yudha terpecah antara memilih tetap fokus dalam pekerjaannya sebagai Jurnalis di media televisi nasional SCTV-Indosiar atau fokus dalam dakwah dan pengabdian kepada masyarakat di masjid? Hingga akhirnya Ust. Yudha memilih mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai Jurnalis, agar bisa lebih fokus menyelesaikan pembangunan dan pengabdian di sisa umurnya untuk agama Allah dengan segala resiko yang harus ditanggungnya.

Berbekal relasi dan koneksi serta dukungan dari seluruh pembina masjid, Ust. Yudha mulai bergerak mendatangkan donatur untuk membantu mempercepat pembangunan masjid. Satu persatu donatur berdatangan menyumbangkan hartanya agar pembangunan Masjid Jami Ad-Da’wah agar bisa dipercepat. Para donatur berdatangan ke masjid diawali datangnya puluhan Kyai dan Asatidz yang tergabung dalam Majelis Khatmil Quran yang datang bersilaturahmi dan mengkhatamkan Al-Quran di Masjid Jami Ad-Da’wah.

Sebagian diantara para Kyai dan Asatidz yang datang tersebut merupakan kawan satu pesantren dengan Ust. Yudha. Para kyai ini datang untuk mendoa’kan pembangunan dan mengkhatamkan Al-Quran di Masjid agar pembangunan masjid diberikan keberkahan oleh Allah SWT. Sekaligus menyampaikan amanah dana bantuan senilai 25 juta rupiah dalam bentuk besi batangan berbagai ukuran untuk keperluan tiang penyangga lantai dua masjid. Bantuan ini diserahkan langsung oleh Ust. Ismatullah pengasuh Pondok Pesantren Miftahus Sa’adah yang diterima langsung oleh  Ust. Yudha yang sama-sama alumni Pondok Pesantren Al-Masthuriyah Tipar Cisaat Kabupaten Sukabumi.

Demikian pula Komandan Kodim Sukabumi Letkot. Inf. Mohammad Mahfudz As’at yang diundang langsung oleh Pembina Masjid Kolonel. Arh. Saepul MG turut datang menyumbangkan hartanya untuk pembangunan masjid dalam bentuk 168 sak semen. Demikian pula dari Perwira Menengah di Sesko TNI, serta rekan-rekan SMA Kolonel Saepul MG, yang juga kakak iparnya Ust. Yudha, turut menyumbangkan uangnya hingga puluhan juta rupiah yang dipergunakan untuk pembelian matrial bangunan. Tak ketinggalan keluarga besar CEO PT. Nuansa Ilham, H. Isep yang juga sepupu Ust. Yudha, ikut memberikan sumbangannya berupa semen dan kaligrafi stainless yang dipasang di bagian depan masjid.

Waktu pun terus berjalan. Dalam hitungan dua bulan lantai satu dan dua masjid telah selesai dikerjakan. Donatur pun silih berganti terus berdatang menitipkan hartanya untuk pembangunan Masjid Jami Ad-Da’wah. Hingga akhirnya Ust. Yudha dipertemukan dengan salah seorang dermawan bernama Abah Haji Dodi Kardian, SH putra dari almarhum Abah Ajun Junaedi Tipar. Dari pertemuan ini terungkap jika ayahanda Abah Haji Dodi merupakan rekan sejawat ayahanda Ust. Yudha, almarhum H. Abas Bhaskara. Maka silaturahmi kedua orang tua inipun dilanjutkan oleh silaturahmi kedua anaknya.

Abah H. Dodi yang sebelumnya dikenal sering membantu pembangunan ratusan masjid di Kota dan Kabupaten Sukabumi, pada awal bulan Maret 2018 memutuskan ingin melihat langsung proses pembangunan dan mendatangi masjid dengan membawa tujuh rol Karpet Turki untuk disumbangkan ke Masjid Jami Ad-Da’wah. Berkat sumbangannya seluruh lantai satu Masjid Jami’ Ad-Da’wah dari depan hingga belakang bisa tertutupi karpet sehingga ibadah jamaah menjadi lebih nyaman.

Bahkan saat kunjungan pertamanya ke Masjid Jami’ Ad-Da’wah itu, keperluan cat tembok dan keperluan pengairan untuk wudhu jamaah dibiayai seluruhnya Oleh Abah Haji Dodi dengan mengirimkan cat tembok Jotun dan Lenkote serta tim pekerja untuk pengeboran air lengkap dengan toren kapasitas 1050 liter dan mesin jetpamnya. Serta untuk keperluan audio masjid berupa 6 buah speaker Toa lengkap dengan Ampli Toa 240 Watt diberikan langsung oleh Abah Haji Dodi kepada Ust. Yudha.

Tidak berhenti sampai disana. Abah H. Dodi kembali menawari Ust. Yudha terkait keperluan besi Ribdeck atau Boundeck serta besi Wiremesh untuk keperluan seluruh lantai tiga. Bahkan saat Abah H. Dodi berada di Tanah Suci saat sedang menjalankan Ibadah Umroh, kerap menelpon Ust. Yudha menanyakan berpa keperluan Besi Boundeck dan Wiremesh untuk lantai tiga agar pembangunan masjid bisa segera diselesaikan.

Hingga akhirnya sepulang menjalankan ibadah umroh, besi Boundeck serta besi Wiremesh senilai 73 juta rupiah diantar langsung oleh Abah Haji Dodi ke Masjid Jami Ad-‘Da’wah dan diterima langsung oleh Ust. Yudha dan Pembina Masjid Kolonel. Saepul MG. Dan langsung dinaikan ke lantai dua masjid oleh masyarakat dengan penuh antusias, agar bisa segera digunakan.

Berkat bantuan besi Boundeck dan Wiremesh dari Abah Haji Dodi ini pembangunan lantai tiga Masjid Jami Ad-Da’wah dengan ukuran luas bangunan 14 m X 25 m bisa selesai hanya dalam waktu lima bulan usai serah terima jabatan ketua DKM dari Ust. Dayat kepada Ust. Yudha. Tidak nya itu, sebanyak empat buah kubah masjid juga disanggupi seluruh biayanya oleh Abah Haji Dodi dengan nilai sekitar 180 juta rupiah.

Alasannya cukup membuat merinding bagi siapa saja yang selama ini merasa dirinya lebih mengerti soal agama. Abah Dodi berbicara langsung kepada Ust. Yudha, beliau ingin sebelum ajal datang  menjemput, hartanya sudah habis untuk kepentingan agama agar kelak di akhirat beliau mempunyai bekal. Sebuah cita-cita mulia yang kemungkinan belum tentu bisa dilakukan oleh kyai sekalipun.

Maka diakui ataupun tidak, bantuan yang datang terus menerus dari Abah Haji Dodi ke masjid Jami Ad-Da’wah ini sangat meringankan beban seluruh jamaah masjid yang semestinya harus menanggung beban dan tanggungjawab selama 4 tahun bahkan bisa jadi 10 tahun kedepan untuk menyelesaikan pembangunan masjid. Namun berkat bantuan dari Abah Haji Dodi hanya dalam waktu enam bulan Ust. Yudha bisa menyelesaikan pembangunan masjid hingga 90% lengkap dengan kubah utama yang telah berdiri megah di lantai tiga.

Bahkan lantai satu dan lantai dua masjid sudah bisa digunakan untuk pelaksanaan Shalat Idul Fitri tahun 1439 H yang bertepatan dengan tanggal  15 Juni 2018 atau hanya 11 bulan lebih usai pembangunan pertama yang dimulai pada tanggal 15 Syawwal 1438 H atau tanggal 9 Juli 2017. Jika dikalkulasi dengan logika, tentu pembangunan masjid dengan anggaran 1, 3 Miliar Rupiah dengan luas 14m X 15m tiga lantai dengan jumlah tiang pondasi beton lebih dari 30 tiang seperti ini tidak akan bisa selesai dalam waktu singkat hanya 11 bulan sudah selesai 90% pengerjaannya jika tidak ada pertolongan dari Allah SWT melalui tangan para donatur.

Terlebih masyarakat setempat tak satupun yang sanggup menutupi kekurangan anggaran hingga Setengah Miliar Rupiah seperti yang dilakukan oleh Abah Haji Dodi. Untuk itu, seluruh jamaah Masjid Jami Ad-Dawah selayaknya berterima kasih kepada seluruh para dermawan yang digerakkan hatinya oleh Allah SWT hingga mau menyisihkan hartanya untuk selesainya pembangunan masjid.

Kenyamanan ibadah seluruh jamaah Masjid Jami Ad-Da’wah pada hari ini merupakan buah kebaikan seluruh dermawan yang datang menginfakkan hartanya saat pembangunan dan pengembangan masjid. Sejatinya mereka tidak akan rugi jika masjid ini tidak selesai. Mereka bisa saja menggunakan harta dan waktunya untuk keperluan yang lain yang bisa jadi jauh mereka perlukan daripada menyumbang ke masjid.

Namun karena hati mereka telah digerakkan oleh Allah, maka jumlah ratusan juta yang menurut sebagian orang merupakan jumlah yang sangat besar. Bisa menjadi kecil untuk orang-orang yang sudah dibukakan hatinya oleh Allah SWT. Waktu dan harta yang sangat berharga untuk kepentingan dunia, dengan ringan mereka korbankan untuk kemakmuran masjid Jami Ad Dawah.

Namun tidak semata Allah menciptakan siang dan malam, langit dan bumi melainkan akan menjadi Sunnatullah akan adanya dua mata koin yang berbeda dalam kehidupan. Ketika ada kebaikan disitu akan selalu bersilang dengan keburukan. Kebaikan Abah Haji Dodi dan kerja keras Ust. Yudha untuk mempercepat pembangunan masjid tetap saja akan melahirkan hitam putihnya sejarah. Sempat beredar isu jika masjid telah digadaikan oleh Ust. Yudha untuk kepentingan politik sesaat, karena pada pembangunan masjid bertepatan dengan perhelatan Pilkada di Kota Sukabumi.

Namun waktu pun menjawab dengan sendirinya. Usai Pilkada, apa yang difitnahkan tak terbukti. Donatur yang menyumbang ke masjid Jami Ad-Da’wah sedari awal memang didasari keikhlasan, hanya saja bertepatan dengan moment Pilkadi sehingga dengan mudah dibelokan oleh orang-orang yang tak mampu menyumbang ke masjid seakan penuh kepentingan Pilkada.

Namun usai Pilkada, tak perduli siapa yang menang dan siapa yang kalah. Bantuan untuk mempercepat pembangunan Masjid Jami Ad-Da’wah justru tetap mengalir. Abah Haji Dodi kembali mengirimkan 210 dus Granit untuk seluruh lantai dua dengan nilai 33 juta Rupiah lebih. Bahkan di lantai tiga masjid dipercantik dengan diteruskannya pembangunan dua buah kubah yang seluruhnya dibiayai oleh Abah Haji Dodi. Bahkan untuk kaligrafi kubah bagian dalam dan pemagaran seluruh lantai dua menggunakan stainless dengan harga puluhan juta rupiah juga dibiayai Abah Haji Dodi karena kedekatannya dengan Ust. Yudha. Ternyata dalam kehidupan, apa yang kita lihat belum tentu itu yang terlihat.

Ketika seseorang datang membantu kita. Selayaknya kita berbaik sangka padanya. Bisa jadi mereka yang datang ke kita merupakan hasil doa permintaan kita pada Allah. Begitu indahnya Allah menurunkan bantuan-Nya kepada hamba-Nya. Ketika kita menginginkan masjid segera selesai pembangunannya. Allah tidak menurunkan bantuannya langsung menjatuhkan semen atau menara dari langit. Melainkan Allah akan mengutus siapa saja diantara hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya untuk menyampaikan rezeki yang hakikatnya dari Allah.

Tujuannya agar manusia bisa saling berterima kasih sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Tidaklah seseorang disebut pandai bersyukur pada Allah, jika dia tak pandai bersyukur pada manusia.” Karena hakikatnya, manusia yang datang membantu kita merupakan jawaban dari permintaan kita pada Allah SWT. Demikian pula kepada seluruh donatur yang menyumbangkan hartanya untuk kepentingan masjid. Sudah semestinya kita berterima kasih pada mereka, sebagai bentuk terima kasih kita pada Allah SWT.

Bukan saja harta, tapi tenaga juga harus kita hargai. Termasuk ucapan terima kasih kepada saudara-saudara kita sesama muslim yang begitu antusiasme terhadap pembangunan masjid ini. Baik dari internal jamaah masjid Ad Da’wah, maupun jamaah dari masjid lainnya seperti jamaah masjid Al-Ikhlas, jamaah Masjid Al-Mizan dan jamaah Masjid Al-Istiqomah yang turut berperan penting sehingga pembangunan masjid bisa begitu cepat selesai. Seluruhnya harus diberikan apresiasi yang tinggi. Karena tanpa keberadaan mereka, Masjid Jami Ad-Da’wah tentu belum tentu bisa seperti sekarang.

Suka duka. Pahit manis selama proses pembangunan masjid dirasakan oleh hampir seluruh masyarakat selama pembangunan. Tak terhitung jamaah yang terluka dan merasakan teriknya matahari selama pengecoran lantai dua dan lantai tiga masjid. Seluruhnya harus kita apresiasi. Karena tanpa kebersamaan, mustahil masjid bisa berdiri megah dengan kondisi 90% hanya dalam waktu 11 bulan. Yang sangat jauh dari perkiraan awal. Hingga sejarah ini ditulis, pembangunan Masjid Jami Ad-Da’wah masih terus dilakukan dengan target keseluruhan bangunan masjid akan selesai dalam jangka waktu 1,5 tahun. Insya Allah…

Begitu luar biasa Jamaah Masjid Jami’ Ad Da’wah, meski kondisi masjid berada dalam masa-masa sulit, namun para Aghniya di internal Masjid Jami’ Ad Da’wah tetap istiqomah dalam menjalankan perintah-Nya. Ditengah masa pembangunan yang masih terus berjalan, kegiatan kurban pada Iedul Adha tahun 1439 Hijriyah tetap berjalan. Bahkan syukur Alhamdulillah… Di tengah masa-masa sulit masjid masih bisa kurban dua ekor Kerbau dan tiga ekor Domba… Jazakumullah untuk seluruh Jamaah yang telah berkurban dan menjadi panitia kurban semoga menjadi amal sholeh untuk kita… Amin…

Kedadatangan bantuan kubah dan menara dengan nilai ratusan juta rupiah dari salah seorang pembina dan donatur masjid Abah Haji Dodi disambut baik oleh seluruh Jamaah dengan bahu membahu membantu proses penurunan dari Truck hingga pengangkatan ke lantai tiga masjid. Qadarallah, cita-cita awal pembangunan yang menginginkan kubah, diijabah Allah melalui jalan silaturahmi dan hubungan baik tanpa mengeluarkan dan ataupun membebani masyarakat…