SEKILAS INFO
  • 3 tahun yang lalu / Masjid Independen bukan milik ormas, partai atau instansi tertentu tapi menjalin silaturahmi tanpa batas dengan siapapun
WAKTU :

Apa arti tawadhu sebenarnya dan apa saja ciri orang tawadhu itu?

Terbit 21 Mei 2022 | Oleh : admin | Kategori :
Apa arti tawadhu sebenarnya dan apa saja ciri orang tawadhu itu?

Kajian NGOPI (Ngobrol Perkara Islam)
Jamaah dan DKM Masjid Jami Ad Da’wah Balandongan
————————————–

Pertanyaan ke-45
Jamaah Bertanya:

Assalamulaikum wr wb,

Pak Ustadz apa arti tawadhu sebenarnya dan apa saja ciri orang tawadhu itu?

DKM Menjawab:

Wa’alaikumusalam wr wb,

Bismillahirrahmanirrahim…

Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan tawadhu ini, tapi dalam kesempatan ini DKM akan mencoba mengkaji tawadhu ini dari sudut pandang para ulama yang diakui keilmuannya oleh dunia, diantaranya Al Imam Al Ghazali, Syekh Abdul Qadir Al Jailani, Syekh Ibnu ‘Athoillah As Samarqandi, Syekh Nawawi al-Bantani dan Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad.

Namun sebelumnya ada baiknya kita definisikan dulu tawadhu secara etimologi atau bahasa. Tawadhu diambil dari bahasa Arab وضع (wadha’a) yang memiliki banyak arti berbeda-beda. Di antaranya meletakkan, melepaskan, atau menghinakan. Sementara dalam Lisanul Arab وضع (wadha’a) mempunyai lawan kata رفع (rafa’a) yang berarti mengangkat.

Sehingga tawadhu bisa berarti meletakkan sesuatu yang ada pada diri kita, yakni meletakkan dan melepaskan diri dari sifat angkuh dan takabbur yang ada dalam diri kita. Dan tidak mengangkat diri atas suatu kemuliaan, atau menilai diri mulia dalam suatu kebaikan sehingga melahirkan sifat angkuh dan sombong yang tak layak disandang oleh seorang hamba.

Tawadhu secara terminologi berarti menghadirkan kerendahan hati pada sesuatu yang diagungkannya, berupa tindakan merasa diri paling rendah dan mengakui kemuliaan serta menerima kebenaran yang ada pada orang lain.

Sementara menurut Al Imam Al-Ghazali di dalam Kitab Ihya Ulumuddin juz 3 tawadhu adalah “Mengeluarkan kedudukan dirinya dan menganggap orang lain lebih utama daripadanya”. Demikian pula Syekh Ibnu Atho’illah As Samarqandi mendefinisikan tawadhu sebagai berikut:

٭ المُتواضعُ الحقيقيُّ هُوَ ماكانَ ناَشِـءـاً عن شهود عظمةِ وَتجلّىِ صِفتهِ ٭

Artinya: “Tawadhu yang sejati (hakiki) ialah rasa rendah diri yang timbul karena melihat/memperhatikan keagungan Allah dan terbukanya sifat-sifat Allah (pada makhluk-Nya).”

Sehingga seseorang yang mempunyai sifat tawadhu hanya melihat keagungan Allah semata dalam segala sudut pandangnya, entah ketika dia memandang makhluk yang dimuliakan ataupun saat memandang makhluk yang terlihat dihinakan, dia akan senantiasa merasa rendah hati dan tidak muncul kesombongan dalam hatinya meskipun dihadapan makhluk terhina sekalipun.

Dan yang harus digaris bawahi, orang yang memiliki sifat “tawadhu sejati” tidak akan pernah merasa dirinya paling tawadhu dan menganggap orang lain sombong atau tidak tawadhu, karena sudut pandang orang tawadhu sejati, hanyalah fokus menghinakan dirinya dihadapan keagungan Allah semata. Tidak akan pernah terbersit dalam hatinya merasa diri lebih baik dari orang lain dan menuduh orang lain lebih hina daripada dirinya, justru orang yang tawadhu akan senantiasa menilai orang lain selalu lebih baik daripada dirinya meskipun sejatinya secara keilmuan dan kemulyaan dia mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Sebagaimana disebutkan di dalam kitab Hikam:

٭ ليس المتواضعُ الذي اذاَ تواضع رى اَنهُ فوقَ ما صنعَ ولٰكن َّ المُتواضعُ اذاَ تواضع رى اَنهُ دونَ ما صنعَ ٭

Artinya: “Orang yang tawadhu itu bukan ia yang ketika merendah menganggap dirinya lebih tinggi dari yang dilakukannya. Tetapi, orang yang tawadhu itu ia yang ketika merendah menganggap dirinya lebih rendah dari yang dilakukannya.”

Sehingga seseorang yang tawadhu tidak akan pernah merasa paling tinggi derajatnya, karena orang tawadhu itu selalu menganggap dirinya lebih rendah, meskipun hakikatnya ia benar-benar lebih baik dan lebih mulia dari orang lain.

Jadi tidak benar ketika seseorang menilai diri sendiri lebih tawadhu dan menuduh orang lain sombong, sementara pada hakikatnya dia hanya ingin menghilangkan atau menjatuhkan kemuliaan yang ada pada diri orang lain dan memposisikan dirinya yang lebih mulia. Demikian pula bagi orang yang tawadhu sejati, apapun perlakuan orang lain kepadanya, ketika dia sedang dimuliakan dia akan tetap merasa hina, demikian pula ketika dia dihinakan justru akan bahagia karena yang dilihat oleh orang yang tawadhu hanyalah kemuliaan yang dimiliki oleh Allah semata.

Sementara Syekh Ibnul Hajib menyebutkan bahwa ketawadhuan adalah sikap batin yang merendah. Sikap batin inilah yang melahirkan tata krama dan sikap sosial yang mulia:

قلت التواضع الحقيقي هو الذي ينشأ ممن يشاهد الأشياء كلها منه فإذا تواضع معها رأى أنها تستحق أكثر من ذلك التعظيم وأن نفسه في الدناءة والذل دون أي أسفل مما صنع من التواضع وليس المتواضع الذي يرى لنفسه مزية على الأشياء فإذا تواضع معها رأى أن نفسه فوق وأفضل مما صنع من التواضع فهذا هو المتكبر لأنه أثبت لنفسه تواضعاً مما تستحقه

Artinya, “Menurut saya, ketawadhuan hakiki adalah sikap yang muncul dari orang yang memandang segala sesuatu dari Allah. Ketika ia merendah, maka ia merasa bahwa segala sesuatunya berhak lebih banyak lagi ketakziman dan merasa bahwa dirinya dalam kerendahan dan kehinaan lebih rendah dari ketawadhuan yang telah dilakukannya. Orang yang merasa istimewa dibanding orang lain bukanlah orang yang tawadhu. Kalaupun ia merendah di tengah yang lain, tetapi memandang dirinya lebih tinggi dan lebih utama karena ketawadhuan yang dilakukannya, maka hakikatnya ia orang yang takabur karena ia menyematkan ketawadhuan bagi dirinya sendiri karena sesuatu yang menurutnya layak ia terima,” (Lihat Syekh Ibnu Ajibah, Iqazhul Himam, Beirut, Darul Fikr, tanpa catatan tahun, juz I, halaman 238).

Jadi kesimpulannya tawadhu itu letaknya dalam hati bukan dalam pengakuan lisan, tawadhu tidak dapat diaku oleh diri sendiri melainkan terlihat oleh orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Untuk melihat apakah seseorang mempunyai sifat tawadhu, maka para ulama pun menyebutkan beberapa cirinya.

Diantaranya menurut Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad sebagaimana disebutkan di dalam kitab Risâlatul Mu‘âwanah wal Mudhâharah wal Muwâzarah, halaman 148-149:

فمن أمارات التواضع حبُّ الخمول وكراهية الشهرة وقبول الحق ممن جاء به من شريف أو وضيع. ومنها محبة الفقراء ومخالطتهم ومجالستهم. ومنها كمال القيام بحقوق الإخوان حسب الإمكان مع شكر من قام منهم بحقه وعذرمن قصَّر

Artinya : “Tanda-tanda seorang mukmin yang tawadhu adalah: Lebih senang tidak dikenal daripada menjadi orang terkenal dan bersedia menerima kebenaran dari siapapun, baik dari kalangan orang terpandang maupun yang rendah kedudukannya. Mencintai fakir miskin dan senang duduk dengan mereka. Bersedia mementingkan urusan orang lain dengan sebaik mungkin. Mudah berterima kasih pada orang-orang yang telah berbuat baik padanya dan memaafkan orang-orang yang berbuat buruk kepadanya. ”

Sedangkan menurut Syekh Syarqawi di dalam syarah hikam menyebutkan:

ليس المتواضع الذي إذا تواضع) أى فعل أفعال المتواضعين بأن جلس فى أسفل المجلس مثلا (رأى أنه فوق ما صنع) أى أنه يستحق الجلوس في صدر المجلس مثلا (ولكن المتواضع) هو (الذي إذا تواضع) أى فعل أفعال المتواضعين بأن جلس قريبا من صدر المجلس مثلا (رأى أنه دون ما صنع) أنه يستحق أن يجلس في أسفل المجلس مثلا… ومن علامة التحقق بهذا الخلق أن لا يغضب إذا عوتب أو انتقص ولا يكره أن يذم أو يقذف بالكبائر ولا يحرص على أن يكون له عندهم قدر وجاه ولا يرى لنفسه موضعا في قلوب الناس

Artinya, “Orang tawadhu itu bukan yang ketika merendah memperlihatkan perilaku layaknya orang bermaqam mutawadhi‘in, misalnya dengan sengaja duduk di belakang dalam sebuah forum (menganggap dirinya lebih tinggi dari yang dilakukannya) merasa dirinya berhak duduk di depan. (Tetapi, orang yang tawadhu itu) adalah (ia yang ketika merendah) berlaku sebagai laku orang bermaqam mutawadhi‘in, antara lain duduk tak jauh dari depan pada sebuah forum (menganggap dirinya lebih rendah dari yang dilakukannya) merasa dirinya justru lebih berhak duduk di belakang… Tanda riil dari perilaku mutawadhi‘in adalah ia yang tidak marah ketika dicela atau difitnah, tidak membenci ketika dicaci atau dituduh melakukan dosa besar; tidak ngotot mengejar pencitraan, mencari muka atau mengambil hati orang lain; dan tidak merasa bahwa dirinya memiliki tempat di hati banyak orang,” (Lihat Syekh Syarqawi, Syarhul Hikam, Semarang, Maktabah Thaha Putra, tanpa catatan tahun, juz II, halaman 60-61).

Ketawadhuan sejatinya bisa diraih oleh siapapun, Syekh Nawawi al-Bantani dalam karyanya Nashaih al-Ibad (nasihat-nasihat kepada para hamba) menjelaskan beberapa cara menggapai ketawadhuan dengan menukil nasihat dari Syekh Abdul Qadir al-Jilani radliyallahu ‘anh sebagai berikut:

Pertama,

إذا لقيت أحدا من الناس رأيت الفضل له عليك وتقول عسى أن يكون عند الله خيرا مني وأرفع درجة،

“Jika kamu bertemu salah seorang, maka pandanglah bahwa dia memiliki keutamaan dibandingkan dirimu, dan (tanamkan dalam hatimu) katakan bahwa bisa jadi menurut Allah dia lebih baik dan lebih tinggi derajatnya dibandingkan diri sendiri.”

Kedua,

فإن كان صغيرا قلت هذا لم يعص الله وأنا قد عصيت فلا شك أنه خير مني،

“Jika melihat orang yang lebih muda, maka katakan bahwa dia tidak (belum) melakukan dosa kepada Allah, sementara saya telah melakukan dosa kepada-Nya, maka tidak dapat dibantah lagi bahwa dia lebih baik daripada saya.”

Ketiga,

وإن كان كبيرا قلت هذا قد عبد الله قبلي،

“Jika melihat orang yang lebih tua (umurnya) maka katakan bahwa dia telah lebih dulu beribadah kepada Allah dibandingkan saya.”

Keempat,

وإن كان عالما قلت هذا أعطى ما لم أبلغ ونال ما لم أنل وعلم ما جهلت وهو يعمل بعلمه،

“Jika melihat orang alim, maka katakan bahwa dia telah berkonstribusi dengan ilmunya sedang saya belum mampu melakukannya dan dia mendapatkan apa yang belum saya capai dan mengetahui apa yang tidak saya ketahui dan dia mengamalkan ilmunya.”

Kelima,

وإن كان جاهلا قلت هذا عصى الله بجهل وأنا قد عصيته بعلم ولا أدري بم يختم لي أو بم يختم له،

“Jika melihat orang bodoh, maka katakan bahwa dia melakukan dosa kepada Allah karena kebodohannya sementara saya melakukan dosa dalam keadaan sadar, saya tidak tahu bagaimana kelak saya berakhir atau bagaimana dia berakhir?”

Keenam,

وإن كان كافرا قلت لا أدري عسى أن يسلم فيختم له بخير العمل وعسى أن أكفر فيختم لي بسوء العمل.

“Jika melihat orang kafir, maka katakan saya tidak tahu barangkali ia masuk Islam dan berakhir dengan amal yang baik dan barangkali saya jadi kafir dan berakhir dengan amal yang buruk.”

Nasihat yang mulia dari Waliyullah Syekh Abdul Qadir Al Jailani Qaddasahullahu sirrahu ini jika diamalkan insya Allah akan memberikan dampak positif dalam menggapai ketawadhuan yang kita idamkan selama ini. Mudah-mudah ada manfaatnya.

Wallahul nuwafiq ila aqwamith thariq

Wassalamu alaikum wr wb

(Ust. Yudha H. Bhaskara, SHI/ Ketua DKM Masjid Jami Ad Da’wah Balandongan Sukabumi dari berbagai sumber)

SebelumnyaApa hukum menggunakan fasilitas masjid seperti toilet, air atau yang lainnya untuk kepentingan pribadi? SesudahnyaApa hukum qurban menggunakan kerbau? Bukankah di dalam Al Quran hanya disebutkan unta, sapi dan kambing?

Tausiyah Lainnya