Apa hukum menggunakan fasilitas masjid seperti toilet, air atau yang lainnya untuk kepentingan pribadi?
Kajian NGOPI (Ngobrol Perkara Islam)
Jamaah dan DKM Masjid Jami Ad Da’wah Balandongan
————————————–
Pertanyaan ke-44
Jamaah Bertanya:
Assalamulaikum wr wb,
Pak ustadz Apa hukum menggunakan fasilitas masjid seperti toilet, air atau yang lainnya untuk kepentingan pribadi?
DKM Menjawab:
Wa’alaikumusalam wr wb,
Bismillahirrahmanirrahim…
Secara sederhana dalam tinjauan ‘urf, masjid biasanya terbagi menjadi dua kategori, masjid pribadi (mushola) dan masjid yang sudah diwakafkan oleh wakif untuk umum, ini terlepas dari statusnya sebagai langgar atau masjid jami. Khusus untuk masjid pribadi(Mushola) tentunya apapun yang ada di dalam masjid (mushola) adalah hak pemilik masjid, sehingga penggunaannya harus sesuai ijin sang pemilik.
Sementara masjid yang sudah diwakafkan, maka penggunaan fasilitas masjid seperti toilet apakah boleh dipergunakan untuk mandi cuci kakus (MCK) atau hanya untuk keperluan wudhu dan yang berhubungan dengan shalat atau kegiatan masjid, maka status hukum penggunaannya akan kembali pada akad awal atau Qasdul Wakif saat fasilitas masjid itu diwakafkan.
Jika qasdul wakif atau maksud dan tujuan wakafnya diperbolehkan dipergunakan untuk kepentingan pribadi maka tak mengapa, tapi jika qasdul wakifnya hanya mengkhususkan untuk kepentingan yang berkaitan dengan ibadah di masjid, maka tidak boleh dipergunakan untuk kepentingan pribadi seperti MCK umum, karena dikhawatirkan pemanfaatan fasilitas masjid berupa toilet yang dipergunakan untuk kebutuhan pribadi sehari-hari seperti minum dan mandi akan jatuh pada haram atau setidaknya syubhat.
Jadi ada baiknya kita bertanya terlebih dahulu kepada wakifnya sebelum kita menggunakan fasilitas masjid sebagi bentuk ihktiat atau kehati-hatian kita, karena setiap tetes air yang kita gunakan kelak akan diminta pertanggungjawabannya di akhirat. Bertanyalah terlebih dahulu, karena itu bagian dari adab. jika wakif sudah tidak ada maka bisa bertanya kepada nadhir, jika nadhir pun sudah tidak ada maka bisa bertanya pada Pengurus DKM setempat yang mengetahui akad wakafnya.
Lantas bagaimana jika tidak ada satupun yang mengetahui qasdul wakifnya? Ada jawabannya di dalam kitab Fathul Mu’in halaman 88-89,Syaikh Zainuddin Al-Malibari menukil pendapat dari Al-‘Allamah Syaikh Thambadawi sebagai berikut:
وَسُئِلَ الْعَلَّامَةُ الطَّنْبَدَاوِيْ عَنِ الْجِوَابِيْ وَالْجِرَارِ الَّتِيْ عِنْدَ الْمَسَاجِدِ فِيْهَا الْمَاءُ إِذَا لَمْ يُعْلَمْ أَنَّهَا مَوْقُوْفَةٌ لِلشُّرْبِ أَوِ الْوُضُوْءِ أَوِ الْغُسْلِ الْوَاجِبِ أَوِ الْمَسْنُوْنِ أَوْ غَسْلِ النَّجَاسَةِ؟ فَأَجَابَ إِنَّهُ إِذَا دَلَّتْ قَرِيْنَةٌ عَلَى أَنَّ الْمَاءَ مَوْضُوْعٌ لِتَعْمِيْمِ الْاِنْتِفَاعِ: جَازَ جَمِيْعُ مَا ذُكِرَ مِنَ الشَّرْبِ وَغَسْلُ النَّجَاسَةِ وَغَسْلُ الْجِنَابَةِ وَغَيْرُهَا وَمِثَالُ الْقَرِيْنَةِ: جِرْيَانُ النَّاسِ عَلَى تَعْمِيْمٍ لِاِنْتِفَاعٍ مِنْ غَيْرِ نَكِيْرٍ مِنْ فَقِيْهٍ وَغَيْرِهِ إِذِ الظَّاهِرُ مِنْ عَدَمِ النَّكِيْرِ: أَنَّهُمْ أَقْدَمُوْا عَلَى تَعْمِيْمِ الْاِنْتِفَاعِ بِالْمَاءِ بِغُسْلٍ وَشُرْبٍ وَوُضُوْءٍ وَغَسْلِ نَجَاسَةٍ فَمِثْلُ هَذَا إِيْقَاعٌ يُقَالُ بِالْجَوَازِ
Artinya: “Al-‘Allamah Syaikh Thambadawi ditanya tentang masalah kamar mandi dan tempat air yang berada di masjid yang berisi air ketika tidak diketahui status pewakafan air tersebut, apakah untuk minum, untuk wudlu, untuk mandi wajib atau sunnah, atau membasuh najis?. Beliau menjawab: Sesungguhnya apabila terdapat tanda-tanda (Qorinah) bahwa air tersebut disediakan untuk kemanfaatan umum, maka boleh menggunakannya untuk semua kepentingan di atas, yaitu untuk minum, membasuh najis, mandi junub dan lain sebagainya. Contoh dari tanda-tanda (qorinah) tersebut adalah kebiasaan manusia untuk memanfaatkannya “secara bersama-sama” tanpa ada penginkaran (komplain) dari ahli fikih ataupun yang lainnya (baik pengurus masjid maupun masyarakat setempat). Dan contoh pemanfaatan air sebagaimana contoh di atas adalah boleh,”.
Jadi illatnya jika di masjid tersebut telah menjadi ‘urf atau kebiasaan memanfaatkan fasilitas masjid secara bersama-sama, maka itu diperbolehkan selama tidak ada komplain dari masyarakat sekitar atau munculnya madharat pada masjid. Tapi jika muncul komplain dan madharat seperti rusaknya fasilitas masjid atau terjadi kerusakan saluran air hingga mampet akibat sampah plastik shampo atau sabun atau menimbulkan masyaqah (kesulitan) dalam kegiatan ibadah di masjid, maka hal tersebut menjadi tercela. Dan dampak hukumnya bisa menjadi haram jika perilaku kita bisa menyebabkan orang lain terganggu dan enggan ke masjid karena kondisi toilet masjid yang dipenuhi kotoran akibat perilaku buruk kita.
Wallahu’Alam
Wassalamu alaikum wr wb
(Ust. Yudha H. Bhaskara, SHI/ Ketua DKM Masjid Jami Ad Da’wah Balandongan Sukabumi dari berbagai sumber)