Apakah benar Qurban tidak sah jika belum Aqiqah? Mana yang lebih utama?
Kajian NGOPI (Ngobrol Perkara Islam)
Jamaah dan DKM Masjid Jami Ad Da’wah Balandongan
————————————–
Pertanyaan ke-43
Jamaah Bertanya:
Assalamulaikum wr wb,
Pak ustadz Apakah benar Qurban tidak sah jika belum Aqiqah? Mana yang lebih utama?
DKM Menjawab:
Wa’alaikumusalam wr wb,
Bismillahirrahmanirrahim…
Pertanyaan ini sering muncul biasanya pada saat akan penggalangan donasi qurban, sehingga para jamaah yang sudah berniat qurban menjadi ragu dan mengundurkan niatnya untuk berqurban dengan alasan belum aqiqah. Dan yang menyedihkan, pada prakeknya qurban tidak dilakukan, aqiqah pun tidak juga dilaksanakan. Untuk itu ada baiknya kita membuka wawasan tentang aqiqah dan qurban ini.
Qurban dan aqiqah adalah dua ibadah yang berbeda dengan objek beban taklif yang berbeda pula, tidak ada keterkaitan yang mengharuskan aqiqah dan qurban dilakukan berurutan sebagaimana wudhu dan shalat. Jika dalam shalat, memang benar harus diawali dengan wudhu karena shalatnya dihukumi tidak sah jika belum wudhu, maka tidak demikian dalam aqiqah dan qurban. Keduanya tidak ada keterkaitan, meski serupa dalam tata cara tapi berbeda dalam maksud dan tujuan.
Aqiqah hukumnya sama dengan qurban yakni sunnah yang lebih dianjurkan daripada sunnah biasa atau disebut juga sunnah muakkadah, dengan beban taklif diperuntukan bagi orang tua, kakek atau yang menafkahi bayi yang baru dilahirkan. Beban taklifnya bukan untuk anak yang dilahirkan, melainkan untuk orang tua yang baru diberikan karunia oleh Allah berupa anak, baik anak perempuan maupun anak laki-laki.
Sunnahnya dilakukan pada hari ketujuh hari keempat belas atau hari kedua puluh satu pasca kelahiran anak. Sebagaimana disebutkan dalam hadits ini:
كُلُّ غُلاَمٍ رَهِيْنَةٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُسَمَّى فِيْهِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ
Artinya : “Anak laki-laki tergadaikan dengan hewan aqiqahnya, maka disembelihkan untuknya pada hari ke tujuh, diberi nama lalu dipotong rambutnya” (HR. Abu Daud)
العقيقةُ تُذْبَحُ لسَبْعٍ ، أوْ لِأَرْبَعَ عشرَةَ ، أوْ لِإِحْدى و عشرينَ
Artinya : “Aqiqah disembelih pada hari ke 7 atau hari ke 14 atau hari ke 21”. (HR. Thabrani dalam Al Ausath no.4882, Al Baihaqi no.19771, Ad Dailami dalam Al Fidaus no.4232)
Para ulama berbeda pendapat tentang batas waktu kesunnahan aqiqah. Imam Maliki berpendapat batasannya hingga pada hari ke-7 saja, lebih dari itu maka kesunnahannya gugur. Imam Syafi’i dan Imam Hanbali berpendapat bisa sampai hari ke-21, jika lebih dari 21 hari maka kesunnahan aqiqah gugur dengan sendirinya. Sementara sebagian ulama lainnya di kalangan Syafi’iyal berpendapat aqiqah bisa dilakukan tanpa batas waktu. Bahkan masih bisa hingga saat dirinya dewasa atau mengaqiqahkan dirinya sendiri secara mandiri jika orang tuanya sudah meninggal atau dalam kondisi tidak mampu.
Sebagaimana pendapat Syekh Nawawi Al Bantani dalam kitab Tausyih ala Fathil Qaribil Mujib:
ولو مات المولود قبل السابع فلا تفوت بموته ولا تفوت العقيقة بالتأخير بعده أى بعد يوم السابع فإن تأخرت أى الذبيحة للبلوغ سقط حكمها فى حق العاق عن المولود أى فلا يخاطب بها بعده لانقطاع تعلقه بالمولود حينئذ لاستقلاله أما هو أى المولود بعد بلوغه فمخير فى العق عن نفسه والترك فإما أن يعق عن نفسه أو يترك العقيقة, لكن الأحسن أن يعق عن نفسه تداركا لما فات
Artinya : “Seandainya bayi meninggal sebelum hari ketujuh, maka meninggalnya bayi tidak menggugurkan kesunnahan aqiqah. Kesunnahan aqiqah juga tidak gugur karena diakhirkan hingga hari ketujuh berlalu. Kalau penyembelihan aqiqah ditunda hingga si anak memasuki usia balig, maka hukum kesunnahannya gugur bagi si orang tua. Artinya mereka tidak lagi disunahkan mengaqiqahkan anaknya yang sudah balig karena tanggung jawab aqiqah orang tua sudah terputus karena kemandirian si anak. Sementara agama memberikan pilihan kepada seseorang yang sudah balig untuk mengaqiqahkan dirinya sendiri atau tidak. Tetapi baiknya, ia mengaqiqahkan dirinya sendiri untuk menyusul sunah aqiqah yang luput di waktu kecilnya.”
Sehingga bisa ditarik kesimpulan jika aqiqah sebenarnya kewajiban orang tua. Jika orang tuanya sanggup maka lakukan, jika tidak sanggup dengan nyata ketidak mampuannya maka tak mengapa. Adapun jika kelak anaknya mempunyai kemampuan untuk mengaqiqahkan dirinya sendiri maka itu lebih baik.
Sementara qurban, meski hukumnya sama-sama diatas sunnah biasa yakni sunnah muakkadah sebagaimana aqiqah, namun beban taklifnya tidak hanya dikenakan pada orang tua melainkan untuk seluruh mukallaf. Bahkan bisa berubah wajib hukumnya menurut Imam Syafi’i jika seseorang telah mengucap nadzar akan melaksanakan qurban. Seperti sudah mengisi daftar calon Mudhahhi (donatur qurban) atau sudah mengucapkan pada seseorang bahwa dirinya akan qurban tahun depan. Demikian pula Imam Hanafi menghukumi qurban wajib bagi setiap mukallaf yang mampu berdasar hadits Rasulullah SAW :
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا
Artinya: ”Siapa yang memiliki kelapangan tapi tidak menyembelih qurban, janganlah mendekati tempat shalat kami”. (HR. Imam Ahmad dan Ibnu Majah).
Terlebih qurban merupakan ibadah yang sarat akan fadhilah. Bahkan Imam Ahmad membolehkan berutang untuk qurban jika sekiranya sanggup melunasi karena melihat luar biasanya keutamaan qurban. Diantara keutamaan qurban sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ إِنَّهَا لَتَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلافِهَا وَأَنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنْ اللَّهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنْ الأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا
Artinya : ”Tidaklah seorang anak Adam melakukan pekerjaan yang paling dicintai Allah pada hari nahr kecuali mengalirkan darah (menyembelih hewan qurban). Hewan itu nanti pada hari kiamat akan datang dengan tanduk, rambut dan bulunya. Dan darah itu di sisi Allah SWT segera menetes pada suatu tempat sebelum menetes ke tanah” (HR. Tirmizy dan Ibnu Majah).
Bahkan untuk Fadhailul Amal ada juga riwayat setiap tetes darah dan bulu hewan qurban akan menggugurkan dosa-dosa kecil mudhahhi (orang yang berqurban). Sehingga bisa dimengerti bahwa aqiqah dan qurban dua ibadah yang mempunyai maksud dan tujuan yang berbeda serta objek hukum yang berbeda pula. Jika aqiqah merupakan syariat untuk para orang tua (atau yang menafkahi) sebagai bentuk penebusan atas anaknya agar bisa memberikan syafaat kelak di yaumil hisab. Sementara qurban syariat untuk seluruh mukallaf yang mampu, untuk mendekatkan diri pada Allah SWT.
Lantas jika ditanya manakah yang utama? Dua-duanya tentu mempunyai keutamaan masing-masing. Maka jika memang mempunyai kesanggupan harta, lebih baik laksanakan aqiqah dan qurban dua-duanya. Aqiqah untuk diri sendiri merupakan bentuk pengabdian pada orang tua, dan melaksanakan qurban sebagai bentuk mendekatkan diri pada Allah SWT agar meringankan beban dosa kita selama hidup di dunia.
Lantas bagaimana jika hanya mempunyai kemampuan ekonomi yang terbatas dan hanya mampu melakukan salah satu dari dua amal ibadah ini? Maka para ulama berbeda pendapat. Bagi Imam Ibnu Hajar Al Haitami, satu hewan (kambing) hanya cukup untuk satu niat, entah qurban atau aqiqah harus dipilih salah satu. Sementara menurut Imam Ramli satu hewan (kambing) cukup untuk dua niat aqiqah dan qurban sebagaimana disebutkan dalam kitab Tausyikh karya Syekh Nawawi al-Bantani:
قال ابن حجر لو أراد بالشاة الواحدة الأضحية والعقيقة لم يكف خلافا للعلامة الرملى حيث قال ولو نوى بالشاة المذبوحة الأضحية والعقيقة حصلا
Artinya: “Ibnu Hajar berkata bahwa seandainya ada seseorang menginginkan dengan satu kambing untuk kurban dan aqiqah, maka hal ini tidak cukup. Berbeda dengan al-‘Allamah Ar-Ramli yang mengatakan bahwa apabila seseorang berniat dengan satu kambing yang disembelih untuk kurban dan aqiqah, maka kedua-duanya dapat terlaksana.”
Demikian pula syekh Al-Khallal menyebutkan pendapat Imam Ahmad:
ذَكَرَ أَبُوْ عَبْدِ اللهِ أَنَّ بَعْضَهُمْ قَالَ: فَإِنْ ضَحَّى أَجْزَأَ عَنِ الْعَقِيْقَةِ
Artinya: “Imam Ahmad menyebutkan bahwa sebagian ulama mengatakan: Jika ada orang berqurban maka sudah bisa mewakili aqiqah.”
Sehingga dalam pandangan ini, seseorang yang berqurban secara otomatis sudah terwakili aqiqahnya dengan qurban yang dilakukannya.
Wallahu’Alam
Wassalamu alaikum wr wb
(Ust. Yudha H. Bhaskara, SHI/ Ketua DKM Masjid Jami Ad Da’wah Balandongan Sukabumi dari berbagai sumber)