SEKILAS INFO
  • 3 tahun yang lalu / Masjid Independen bukan milik ormas, partai atau instansi tertentu tapi menjalin silaturahmi tanpa batas dengan siapapun
WAKTU :

“Belajar Moderat dari Sarung”

Terbit 27 Juni 2023 | Oleh : admin | Kategori :
"Belajar Moderat dari Sarung"

“Belajar Moderat dari Sarung”

Oleh: Yudha Hendrawan

Sedari kecil, bagi kita yang terbiasa hidup di pesantren, terbiasa diajarkan tatacara memakai sarung oleh para kyai guru-guru kita yang sangat kita mulyakan. Bahkan oleh para senior pun selama di kobong atau asrama, kita sering diajarkan bagaimana tata cara mengenakan sarung yang aman dan nyaman serta tidak menghilangkan nilai estetika dalam penampilan sehari-hari.

Dulu mungkin kita hanya akan mengikuti saja apa yang diajarkan oleh para kyai dan senior kita. Tak terbersit sedikitpun ternyata ada filosofi mendalam dibalik tata cara memakai sarung jika sesuai dengan perintah para kyai tersebut. Dulu mungkin kita hanya berpikir bagaimana caranya agar sarung yang kita pakai setiap hari tak mudah lepas meskipun ada santri lain yang iseng menarik paksa.

Setelah kita keluar dari pesantren, bergaul dengan berbagai macam paham, aliran, bahkan dengan kemajemukan dan pluralisme yang ada di luar pesantren, serta fakta bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai ini multi suku, agama, ras dan kebudayaan, ternyata tata cara memakai sarung yang sederhana itu menyimpan rahasia filosofi dahsyat dibaliknya jika dilakukan dengan “baik dan benar” sebagaimana telah diajarkan para kiai di pesantren.

Nampak nyata mengenakan sarung bukanlah kampungan, melainkan simbol dari pemahaman yang moderat. Mengenakan sarung bagi para santri sekilas memang terlihat sangat sederhana. Hanya mengikatkan sarung di pinggang, bahkan tak menggunakan simpul mati, hanya terlihat seperti gulungan biasa dibawah pusar. Meski terlihat sederhana, namun tak mudah dilepaskan meski ditarik paksa sekalipun. Mengenakan sarung seperti itu sudah menjadi standar, karena para santri harus memakai sarung yang kokoh karena segala aktivitas bahkan sepak bola sering kali menggunakan sarung. Tak terbayang jika santri mengenakan sarung yang tak kokoh, maka akan terlepas saat main bola dan bisa-bisa auratnya terlihat oleh para santriwati.

Untuk mendapatkan ikatan sarung yang kuat seperti itu tidaklah mudah. Sarung yang dikenakan santri harus benar-benar berada di tengah, antara yang kanan dengan yang kiri harus seimbang, agar mendapatkan gulungan ikatan yang kuat. Ternyata posisi pembagian sarung yang seimbang antara yang kanan dan kiri tersebut mengandung nilai filosofi bahwa dalam kehidupan berbangsa, bernegara bahkan dalam beragama kita harus tawasuth. Berada di tengah, tidak kekiri- kirian dan tidak pula kekanan-kananan. Tidak tathorruf yamani ataupun tathorruf yasari. Tidak pula ashobiyah yang hanya pandai membenarkan kelompok sendiri namun jahil dalam menilai kebaikan kelompok lain.

Saat melipat sarung pun ternyata ada tata caranya. Ujung kanan kain sarung harus kembali ke tengah dan ujung kirinya juga harus kembali ke tengah agar nampak dua lipatan di bagian depan sarung yang terlihat estetik. Harus nampak serasi dan seirama antara bagian sarung sebelah kanan dan bagian sarung sebelah kiri, meski sejatinya berbeda antara bagian kanan dan kiri, namun senantiasa akan terlihat sangat dinamis.

Tata cara melipat sarung seperti itu mengandung nilai filosofis bahwa dalam kehidupan nyata kita harus tasamuh. Saling bertoleransi dalam berbagai macam perbedaan, baik budaya, agama maupun tradisi. Karena kita hidup di negara Indonesia yang majemuk, plural, multi suku, agama, ras dan etnis, bahkan multi madzhab. Nilai filosofi moderat dalam sarung tidak berhenti sampai disana tapi masih berlanjut.

Setelah kita melipat kain sarung, bagian ujung bawah sarung harus rata antara bagian kanan dan bagian kiri. Lagi-lagi itu juga mengandung pesan filosofis tawazun. Kita harus seimbang antara naqli dan aqli agar kita bisa beribadah dengan rasionalitas yang rahmatan lil `alamin. Jangan sampai kita fanatik buta sehingga mudah mengkafirkan orang diluar kelompok kita. Bahkan sesama warga negara pun kita harus pandai memposisikan diri, bahwa selain saudara seiman, masih ada pula saudara sebangsa dan senegara.

Terakhir, gulungan kain sarung bagian atas harus rapat dan tipis agar ikatan sarung kita kuat tak mudah lepas bahkan meski ditarik paksa. Inilah nilai filosofis itidal. Kita harus istiqomah berani tegak berdiri meski gelombang terus menghadang. Kita yang ahlus sunnah wal jamaah jangan mudah terombang ambing akidah dan amaliah kita dengan paham yang tak tentu sanad murobbi-nya yang sangat mudah menilai kelompok di luarnya bid’ah atau tidak sunnah.

Semoga kita semua termasuk saya yang sampai sekarang masih memakai sarung, bisa belajar lebih moderat dalam sudut pandang keberagamaan. Setidaknya dari tata cara memakai sarung ini, setiap perbedaan akan terlihat indah sebagaimana kita melihat sarung kita yang beraneka ragam warna, beraneka ragam motif dan beraneka ragam tradisi. Setiap kali kita mengenakan sarung, maka akan tertanam nilai toleransi dan sudut pandang moderat yang bisa menjaga persatuan dan kesatuan negara tercinta NKRI.

Wallahualam…

SebelumnyaBerapa sebenarnya kadar atau ukuran fidyah untuk setiap hari puasa Ramadhan yang ditinggalkan? SesudahnyaHukum Mendapatkan Hadiah Lomba dengan Uang Pendaftaran

Tausiyah Lainnya