Kenapa Idul Adha di Indonesia berbeda waktu dengan di Saudi Arabia, bukankah waktunya disesuaikan dengan waktu wukuf di Arofah?
Kajian NGOPI (Ngobrol Perkara Islam)
Jamaah dan DKM Masjid Jami Ad Da’wah Balandongan
————————————–
Pertanyaan ke-53
Jamaah Bertanya:
Assalamulaikum wr wb,
Kenapa Idul Adha di Indonesia berbeda waktu dengan di Saudi Arabia, bukankah waktunya disesuaikan dengan waktu wukuf di Arofah?
DKM Menjawab:
Wa’alaikumusalam wr wb,
Bismillahirrahmanirrahim…
Pertama dan yang utama kita panjatkan Puja serta Puji terlebih dahulu kepada Allah SWT yang telah menciptakan alam raya ini untuk sarana penentu waktu kita melaksanakan ibadah kepada-Nya. Shalawat serta salam senantiasa kita curahkan pada jungjungan alam Baginda Rasulullah SAW yang senantiasa memberikan ilmu dan kemudahan bagi kita untuk melaksanakan ibadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Ini sebenarnya pertanyaan langganan yang selalu terlontar setiap kali menjelang idul Adha atau bahkan Idul Fitri, dan pertanyaan seperti ini sejatinya sudah muncul sejak zaman para ulama salafus shalihin, bahkan sejak jaman para sahabat Radhiyallahu ‘anhum terdahulu.
Analogi sederhananya mungkin seperti ini, jika Idul Adha diharuskan berpatokan setelah adanya wukuf jamaah haji di arofah, maka muncul pertanyaan “bagaimana jadinya jika di arofah tidak ada jamaah haji yang wukuf seperti saat pandemi covid19 lalu? Apakah di negara selain Saudi Arabia harus libur Idul Adhanya? Tentu tidak jawabannya”
Atau analogi lainnya, jika pelaksanaan Idul Adha yang notabene ibadah, harus sama dengan waktu di Saudi Arabia, kenapa ibadah lainnya kita tidak konsisten dan berbeda dengan di Saudi Arabia? Misalnya di Mekah jam sekarang waktunya shalat Ashar, sementara di Indonesia sudah masuk waktunya shalat Isya, kenapa kita mesti berbeda? Semestinya jika konsisten ingin menyamakan waktu ibadah dengan Saudi Arabia, maka kita pun harusnya melaksanakan shalat ashar bukannya melaksanakan shalat Isya dan berbeda dengan yang di Saudi Arabia. Itulah jawaban logis yang tentunya akan melahirkan pro dan kontra, namun setidaknya bisa sedikit membuka kejumudan kita.
Masalah perbedaan waktu ini sebenarnya sudah terjadi jauh hari sebelum masa kita, para ulama Madzhab yang empat pun sudah ikhtilaf dalam membahas perbedaan waktu ibadah di Mekah dan luar Mekah ini. Berdasarkan istilah yang disebut dengan “Mathla'” atau tempat terbitnya matahari, fajar ataupun bulan yang kemudian kita kenal dengan hilal, yang tentunya setiap tempat akan berbeda waktunya.
Perbedaan penentuan waktu ibadah ini pun sudah terjadi di jaman para sahabat, sebagaimana disampaikan dalam hadits yang diriwayatkan dari Ummul Fadhl binti Al Harits berikut ini:
أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بَعَثَتْهُ إلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ فَقَالَ : فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلَالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ ، ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ فَقَالَ : مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ ؟ فَقُلْتُ : رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ، فَقَالَ : أَنْتَ رَأَيْتَهُ ؟ فَقُلْتُ : نَعَمْ ، وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ ، فَقَالَ : لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلَا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلَاثِينَ أَوْ نَرَاهُ ، فَقُلْتُ : أَلَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ ؟ فَقَالَ : لَا ، هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya: “Aku tiba di Syam, dan aku laksanakan perintah Ummul Fadhl. Bertepatan munculnya hilal bulan Ramadhan, ketika aku berada di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku pulang ke Madinah di akhir bulan Ramadhan. Abdullah bin Abbas Radhiyallahu anhuma bertanya kepadaku, ia menyebut tentang hilal. Dia bertanya,”Bilakah kalian melihat hilal?” Aku menjawab,”Kami melihatnya pada malam Jum’at!” Tanya beliau lagi,”Apakah engkau menyaksikannya?” Jawabku,”Ya. Orang-orang juga melihatnya. Mereka berpuasa dan Mu’awiyah turut berpuasa!” Abdullah bin Abbas berkata,”Akan tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu. Kami akan terus berpuasa hingga kami menyempurnakannya tiga puluh hari, atau kami melihat hilal Syawal.” Aku berkata,”Tidak cukupkah kita mengikuti ru’yat hilal Mu’awiyah dan puasanya?” Abdullah bin Abbas menjawab,”Tidak! Begitulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami.” [Hadits riwayat Muslim, At Tirmidzi dan Ahmad. At Tirmidzi berkata,”Hadits hasan shahih gharib.”]
Ternyata para sahabat sekaliber Mu’awiyah dan Ibnu Abbas ra. pun berbeda pendapat dalam menentukan hilal, antara Syam dan Madinah karena jaraknya yabg terpaut jauh bisa menjadi penentu berbedanya waktu ibadah. Apalagi Indonesia dan Arab Saudi yang lebih jauh daripada Syam dan Madinah.
Untuk perbedaan waktu ibadah ini ulama berbeda pendapat yang tentunya akan menjadi rahmat bagi kita semua sehingga bisa mendapatkan pilihan ijtihaj yang kita yakini tanpa menyalahkan pendapat orang lain.
Pendapat pertama “Wihdatul Mathla'” yang menyatakan harus ada keseragaman dalam menentukan waktu ibadah berdasarkan sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ
“Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah (berhari rayalah) karena melihatnya“. [Hadits riwayat Al Bukhaari dan Muslim, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu].
Dan sabda Rasulullah SAW:
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Hari berpuasa adalah hari kaum muslimin berpuasa. Hari ‘Idul Fithri adalah hari kaum muslimin merayakannya. Dan hari ‘Idul Adha adalah hari kaum muslimin menyembelih kurban“.[Hadits riwatat Imam At Tirmidzi]
Berdasarkan dalil ini, para ulama di kalangan madzhad Maliki menyatakan, jika hilal telah terlihat di satu negeri, maka wajib bagi seluruh kaum muslimin yang bermukim di negeri lain untuk berpuasa. Sebagaimana pendapat Laits bin Sa’ad di kalangan Maliki, dan pendapat sebagian ulama Syafi’iyyah, serta pendapat Imam Abu Hanifah dan pendapat Imam Ahmad.
Keterangan inu juga disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam kitab Al Mughni (IV/328): “Apabila hilal telah terlihat oleh penduduk satu negeri, maka seluruh negeri lainnya wajib berpuasa. Ini adalah pendapat Al-Laits dan sebagian rekan Asy Syafi’i.”
Sedangkan mayoritas pendapat di kalangan Mazhab Asy-Syafi’i justru sebaliknya dan menerima konsep perbedaan mathla’. Karena antara satu wilayah di muka bumi ini dengan wilayah yang lain, sangat memungkinkan terjadinya perbedaan hari dalam menjatuhkan tanggal. Bahkan untuk wilayah yang berdekatan setidaknya jarak 24 farsakh sudah memungkinkan terjadinya perbedaan Hari Raya.
Hal senada disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam kitab Al Mughni (IV/328): “Sebagian ulama mengatakan, kalau kedua negeri itu jaraknya berdekatan, maka mathla’ hilalnya tidak ada perbedaan (satu mathla’), seperti kota Baghdad dan Bashrah. Penduduk dua kota ini, wajib berpuasa bila hilal telah terlihat di salah satu dari kedua kota tersebut. Jika jarak kedua negeri itu berjauhan, seperti: Iraq, Hijaz dan Syam, maka setiap negeri melihat hilalnya masing-masing”. Diriwayatkan dari Ikrimah, bahwa beliau berkata: “Setiap penduduk negeri wajib melihat hilalnya masing-masing.” Ini merupakan Madzhab Al-Qasim, Salim dan Ishaq.
Jadi sebenarnya masalah perbedaan penentuan hari Raya ini sudah dibahas oleh para ulama terdahulu bahkan sejak para sahabat. Untuk mensikapi perbedaan ini, maka kami dari DKM Masjid Jami Ad Da’wah Balandongan memegang pendapat madzhab di kalangan Syafi’iyah yang memperbolehkan terjadinya perbedaan mathla’ dan mengikuti keputusan pemerintah selaku Ulil Amri yang harus ditaati dalam melaksanakan penentuan ibadah termasuk penentuan hari Raya Idul Adha.
Wallahu’Alam…
Wallahul nuwafiq ila aqwamith thariq
Wassalamu alaikum wr wb
(Ust. Yudha H. Bhaskara, SHI/ Ketua DKM Masjid Jami Ad Da’wah Balandongan Sukabumi dari berbagai sumber)