SEKILAS INFO
  • 3 tahun yang lalu / Masjid Independen bukan milik ormas, partai atau instansi tertentu tapi menjalin silaturahmi tanpa batas dengan siapapun
WAKTU :

MUSIK dan NYANYIAN DIMATA ULAMA MADZHAB

Terbit 25 Mei 2024 | Oleh : admin | Kategori :
MUSIK dan NYANYIAN DIMATA ULAMA MADZHAB

MUSIK dan NYANYIAN DIMATA ULAMA MADZHAB

KESIMPULAN bahwa ulama mazhab ijmak mengharamkan musik tidaklah benar. Selain gagal memahami konteks pembicaraan para imam madzhab saat itu, dimana nyanyian waktu itu tdk disukai krn sepaket dengan khamr dan biduan, mereka juga melakukan penggiringan opini dengan mencomot sebagian perkataan ulama madzhab lalu dipahami sebagai pengharaman.

Misal, memotong perkataan imam syafii yg seolah mencela penyanyi, padahal kelanjutan perkataan beliau ada tertulis:

(قَالَ) : وَهَكَذَا الرَّجُلُ يَغْشَى بُيُوتَ الْغِنَاءِ، وَيَغْشَاهُ الْمُغَنُّونَ إنْ كَانَ لِذَلِكَ مُدْمِنًا، وَكَانَ لِذَلِكَ مُسْتَعْلِنًا عَلَيْهِ مَشْهُودًا عَلَيْهِ فَهِيَ بِمَنْزِلَةِ سَفَهٍ تُرَدُّ بِهَا شَهَادَتُهُ. وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ يَقِلُّ مِنْهُ لَمْ تُرَدَّ بِهِ شَهَادَتُهُ لِمَا وَصَفْت مِنْ أَنَّ ذَلِكَ لَيْسَ بِحَرَامٍ بَيِّنٍ.
——–
ص226 – كتاب الأم للشافعي – شهادة ولد الزنا على رجل في الزنا – المكتبة الشاملة الحديثة

Seseorang yg suka menyibukkan diri di tempat-tempat bernyanyi, kecanduan dengan bernyanyi (musik), dengan bangga menampilkan kecintaannya dengan bernyanyi tersebut, maka perbuatannya itu sama dengan kebodohan dan membuat persaksiannya ditolak. Tetapi jika seseorang menyukai nyanyian dan musik dalam kadar yg sedikit, wajar tidak berlebihan maka tidak ditolak persaksiannya dan perbuatan itu tidak haram.
(Al-umm juz 6 hal 226)

قَالَ المصنف رحمه اللَّه: وَقَدْ روينا عَنِ الشافعي رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ أما استماع الحداء ونشيد الأعراب فلا بأس به قَالَ المصنف رحمه اللَّه ومن إنشاد العرب قول أهل المدينة عند قدوم رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عليهم: طلع البدر علينا … من ثنيات الوداع وجب الشكر علينا … ما دعا لله داعى

Kami meriwayatkan dari Imam Syafi’i radhiyallahu ‘anhu bahwa dia berkata: Adapun mendengarkan hida’ dan nyanyian orang Badui, tidak ada apa apa. Penulis berkata, dan di antara nyanyian orang Arab, ada ucapan masyarakat Madinah pada saat kedatangan Rasulullah SAW: tholaal badru alaina dan sterusnya,.. (talbis iblis hal 200)

Imam Abu Hanifah. Dalam madzhab Hanafi pengharaman musik dikenal sangat keras. Tapi faktanya, IMAM Abu Hanifah sendiri tidak seperti itu. Sebagaimana terlihat keterangan Imam Al Kasani Al Hanafiy:

وَيَجُوزُ بَيْعُ آلَاتِ الْمَلَاهِي مِنْ الْبَرْبَطِ، وَالطَّبْلِ، وَالْمِزْمَارِ، وَالدُّفِّ، وَنَحْوِ ذَلِكَ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ

Dibolehkan menjual alat-alat musik seperti Al Barbath, gendang, seruling, rebana, dan lainnya, menurut Imam Abu Hanifah. (Bada’i Ash Shana’i, 5/144)

Hal ini dipertegas lagi dalam keterangan dalam Al Mausu’ah berikut ini:

وذهب بعض الفقهاء إلى إباحتها إذا لم يلابسها محرم، فيكون بيعها عند هؤلاء مباحا . والتفصيل في مصطلح (معازف) .ومذهب أبي حنيفة – خلافا لصاحبيه – أنه يصح بيع آلات اللهو كله

Sebagian ahli fiqih berpendapat, bolehnya menjual alat-alat musik bila tidak dicampuri dengan hal-hal yang haram, maka menjual hal tersebut bagi mereka mubah. Rinciannya terdapat dalam pembahasan Al Ma’azif. Imam Abu Hanifah berpendapat –berbeda dengan dua sahabatnya- bahwa sah memperjualbelikan alat-alat musik seluruhnya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 9/157)

ULAMA madzhab Imam Malik Rahimahullah, Beliau membolehkan mendengarkan nyanyian walau dengan iringan musik. Bahkan juga segolongan sahabat Nabi ﷺ. Imam Asy Syaukani Rahimahullah mengatakan:

وَحَكَى الرُّويَانِيُّ عَنْ الْقَفَّالِ أَنَّ مَذْهَبَ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ إبَاحَةُ الْغِنَاءِ بِالْمَعَازِفِ. وَحَكَى الْأُسْتَاذُ أَبُو مَنْصُورٍ وَالْفُورَانِيُّ عَنْ مَالِكٍ جَوَازَ الْعُودِ

Ar Ruyani meriwayatkan dari Al Qaffal, bahwa madzhab-nya Imam Malik bin Anas membolehkan bernyanyi dengan menggunakan alat musik (Al Ma’azif). Al Ustadz Abu Manshur Al Furani menceritakan bahwa Imam Malik membolehkan kecapi (Al ‘Uud). (Nailul Authar, 8/113)

وقد جاء في قصة الخليفة هارون الرشيد (ت 193هـ/808م) مع الإمام المحدِّث الموسيقي إبراهيم بن سعد الزهري -التي سبق ذكرها- أن الرشيد سأله: “هل بلغك عن مالك بن أنس في هذا (الغناء) شيء؟ قال: لا والله، إلا أن أبي أخبرني أنهم اجتمعوا في مدعاة كانت في بني يربوع، وهم يومئذ جِلة ( علماء أكابر) ومالك أقلهم في فقهه وقدْره، ومعهم دفوف ومعازف وعيدان يغنّون ويلعبون، ومع مالك دف مربع وهو يغنيهم” أبياتا شعرية؛ وفقا لرواية الحافظ الخطيب البغدادي في ‘تاريخ بغداد‘.

Disebutkan dalam kisah Khalifah Harun al-Rasyid (w. 193 H/808 M) bersama imam hadits dan pemusik yakni Ibrahim bin Saad al-Zuhri – yang telah disebutkan sebelumnya – bahwa Al-Rashid bertanya kepadanya: “Pernahkah kamu mendengar ada kabar dari Malik bin Anas tentang hal ini (bernyanyi)? Beliau menjawab: Tidak, demi Allah. Akan tetapi ayahku menceritakan kepadaku bahwa mereka berkumpul di suatu tempat yaitu di Banu Yarbu’, dan mereka berada pada hari itu. sekelompok (ulama kibar), dan Malik adalah yang paling kecil di antara mereka dalam fiqih dan kemampuannya, dan bersama mereka ada rebana, alat musik, dan tongkat, bernyanyi dan bermain, dan Malik membawa rebana persegi, dan dia bernyanyi untuk mereka “ayat-ayat syiir.” (riwayat Al-Hafiz Al-Khatib Al-Baghdadi dalam ‘Tarikh Bagdad’, juz 6 hal 606)

Syaikh Wahbah az-Zuhaily menyatakan dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu sebagai berikut :
الفقه الإسلامي وأدلته (4/ 213)
وأباح مالك والظاهرية وجماعة من الصوفية السماع ولو مع العود واليراع. وهو رأي جماعة من الصحابة (ابن عمر، وعبد الله بن جعفر، وعبد الله بن الزبير، ومعاوية، وعمرو بن العاص وغيرهم) وجماعة من التابعين كسعيد بن المسيب.

Imam Malik, mazhab Zhahiri, dan segolongan ulama Shufi membolehkan mendengar nyanyian walaupun diriingi ‘uud (sejenis gitar) dan yuraa’ . Pendapat ini juga dianut sekelompok sahabat nabi (semisal Ibnu Umar, Abdullah bin jakfar, abdullah bin zubair, mu’awiyah, Amru bin ‘Ash dan lain-lain), juga sekelompok ulama tabi’iin seperti Sa’id bin al-Musayyab. (Fiqih islam waadillatuh, wahbah zuhaili juz 4/213)

SebelumnyaHukum Puasa Ramadhan Orang yang tidak Shalat Fardhu SesudahnyaKenapa Idul Adha di Indonesia berbeda waktu dengan di Saudi Arabia, bukankah waktunya disesuaikan dengan waktu wukuf di Arofah?

Tausiyah Lainnya