Apakah benar yang saya lihat di youtube kedua orang tua Nabi Muhammad SAW masuk neraka karena meninggal dalam keadaan kafir?
Kajian NGOPI (Ngobrol Perkara Islam)
Jamaah dan DKM Masjid Jami Ad Da’wah Balandongan
Diasuh oleh:
Ust. Yudha H. Bhaskara, SHI
(Alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Pertanyaan ke-23
Jamaah Bertanya:
Assalamulaikum wr wb,
Apakah benar yang saya lihat di youtube, ada ustadz yang mengatakan kedua orang tua Nabi Muhammad SAW masuk neraka karena meninggal dalam keadaan kafir?
DKM Menjawab:
Waalaikumsalam wr wb,
Bismillahirrahmanirrahim…
Semoga hidayah Allah senantiasa dicurahkan pada kita semua yang selalu berusaha menjaga kehormatan garis keturunan Rasulullah SAW. Sebelum menjawab pertanyaan yang sensitif ini ada baiknya bagi kita semua jika menyampaikan sesuatu, senantiasa berpegang pada qaidah :
التزام الأدب مُقدَّم على امتِثال الأمْر
Artinya:”Mengedepankan adab lebih diutamakan daripada melakukan perintah.”
Kita memang diperintahkan menyampaikan dakwah. Tapi “mendakwahkan secara masif dan berulang-ulang”, atau lebih tepatnya mendoktrin ke jamaahnya seakan benar kedua orang tua Rasulullah SAW masuk neraka? Adalah penyampaian “dakwah” yang setidaknya menggerogoti adab terhadap Baginda Rasulullah SAW. Bukankah akan lebih baik jika kajian kita fokuskan pada kajian diri, atau menurut bahasa Guru kami di pesantren “Ngaji Diri”, apakah kita dan juga “ustadz” yang di youtube itu dijamin masuk surga atau justru akan masuk neraka?
Jika pertanyaan seperti itu diberikan kepada kita, misalkan ada yang bertanya atau memvonis ayah ibu kita masuk neraka. Mungkinkah hati kita selaku anaknya tidak tersakiti? Terlebih yang ditanyakan dan yang dituduh adalah kedua orang tua Nabi Muhammad SAW yang mulia, dikhawatirkan ini akan menyakiti hati Rasulullah SAW, sementara Rasulullah SAW pernah bersabda:
لَا تُؤْذُوا الْأَحْيَاءَ بِسَبِّ
Artinya: “Jangan sakiti yang hidup dengan mencela yang sudah wafat.”
Klaim sedikit-sedikit menuding orang lain “masuk neraka” yang menjadi identitas golongan tertentu ini dikhawatirkan akan menyakiti hati Rasulullah SAW, sedangkan siapapun yang menyakiti hati Rasulullah SAW, maka dikhawatirkan pula laknat Allah tengah mengintainya sebagaimana tertera dalam Quran surat Al Ahzab ayat 57:
إِنَّ الَّذِينَ يُؤْذُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا مُهِين
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan.”
Maka tak heran jika banyak ulama yang memilih tawaquf dalam masalah ini. Atau setidaknya memasukan kedua orang tua Rasulullah SAW sebagai golongan ahli fatrah karena diakui ataupun tidak, kita dan siapapun yang hidup setelah masa Rasulullah SAW dan sahabatnya, tidak ada satupun yang tahu persis apakah kedua orang tua Rasulullah SAW ini pernah menyembah berhala, atau justru penganut Agama Millah Ibrahim as yang taat kepada Allah sepanjang hidupnya?
Tak ada satupun diantara kita yang bisa menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri. Semua hanya berasumsi berdasarkan berbagai riwayat yang bahkan kategorinya pun hadits ahad. Sementara jika salah kita menghukumi seseorang sebagai kafir, maka tuduhan itu akan kembali kepada kita.
حدثنا إسماعيل قال حدثني مالك عن عبد الله بن دينار عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال أيما رجل قال لأخيه يا كافر فقد باء بها أحدهما
Artinya : “Diriwayatkan dari Isma’il dari Malik dari Abdullah bin Dinar dari Abdullah bin Umar, Rasulullah Saw bersabda “Seandainya seseorang mengatakan “Wahai Kafir” kepada saudaranya, maka tuduhan kafir tersebut akan kembali kepada salah satu di antara keduanya” (HR al-Bukhari)
Namun demikian, pertanyaan ini harus dijawab agar tidak membingungkan orang awam dalam beragama. Ulama sebenarnya berbeda pendapat akan masalah ini, namun ada baiknya pendapat para ulama tersebut ditaqrir, agar kita selaku orang yang awam tidak ikut-ikutan mengkafirkan kedua orang tua Rasulullah SAW.
Permasalahan ini bermuara pada bedanya penafsiran hadist dari Anas bin Malik ra yang diriwayatkan Imam Muslim berikut ini:
أن رجلا قال لرسول الله صلى الله عليه وسلم يا رسول الله أين أبي قال في النار قال أَنّ رَجُلاً قَالَ: يَا رَسُولَ اللّهِ، أَيْنَ أَبِي؟ قَالَ: فِي النّارِ. فَلَمّا قَفّى دَعَاهُ فَقَالَ: إِنّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النّارِ
Artinya, “Salah seorang sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, di manakah kini ayahku?’ Nabi Muhammad SAW menjawab, ‘Di neraka.’ Ketika orang itu berpaling untuk pergi (sambil menepuk tengkuk tanda kesedihan mendalam), Nabi Muhammad SAW memanggilnya lalu berkata, ‘Sungguh, ayahku dan ayahmu berada di dalam neraka,’” (HR. Muslim No. 203)
Hadits ini dijadikan dalil untuk mengkafirkan orang tua Rasulullah SAW dengan mencatut nama Imam Nawawi rahimahullahu ta’ala di dalam Syarah Muslim berikut ini:
أن رجلا قال يا رسول الله أين أبي قال في النار فلما قفى دعاه فقال إن أبي وأباك في النار) فيه أن من مات على الكفر فهو في النار ولا تنفعه قرابة المقربين وفيه أن من مات في الفترة على ما كانت عليه العرب من عبادة الأوثان فهو من أهل النار وليس هذا مؤاخذة قبل بلوغ الدعوة فان هؤلاء كانت قد بلغتهم دعوة ابراهيم وغيره من الأنبياء صلوات الله تعالى وسلامه عليهم وقوله صلى الله عليه و سلم أن أبي وأباك في النار هو من حسن العشرة للتسلية بالاشتراك في المصيبة ومعنى قوله صلى الله عليه و سلم قفي ولى قفاه منصرفا
Artinya, “Bahwa seorang lelaki bertanya, ‘Wahai Rasulullah, di manakah kini ayahku?’ dan seterusnya, menunjukkan bahwa orang yang meninggal dalam keadaan kufur bertempat di neraka. Kedekatan kerabat muslim tidak akan memberikan manfaat bagi mereka yang mati dalam keadaan kafir. Hadits ini juga menunjukkan bahwa mereka yang meninggal dunia di masa fatrah (masa kosong kehadiran rasul) selama dalam keadaan musyrik, yakni menyembah berhala sebagaimana kondisi masyarakat Arab ketika itu, tergolong ahli neraka. Kondisi fatrah ini bukan berarti dakwah belum sampai kepada mereka. Karena sungguh dakwah Nabi Ibrahim AS, dan para nabi lainnya telah sampai kepada mereka. Sedangkan ungkapan ‘Sungguh, ayahku dan ayahmu berada di dalam neraka’ merupakan bagian dari baiknya tata cara pergaulan Rasulullah SAW, agar menjadi penghibur dengan ikut memposisikan dirinya menjadi bagian dari mushibah seperti yang dialami sahabatnya perihal nasib orang tuanya. Ungkapan Rasulullah SAW ‘Ketika orang itu berpaling untuk pergi’ bermakna beranjak meninggalkan Rasulullah SAW.” (Imam An-Nawawi, Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim Ibnil Hajjaj, Dar Ihyait Turats Al-Arabi, Beirut, Cetakan Kedua, 1392 H).
Di dalam bab ini Imam Nawawi rahimahullahu ta’ala tidak ada satupun kalimatnya yang menyatakan ayah Rasulullah SAW yaitu Sayyid Abdullah masuk neraka. Imam Nawawi justru menjelaskan secara umum, bahkan paman nabi Abi Thalib pun yang jelas-jelas belum masuk Islam tidak disebut secara eksplisit oleh Imam Nawawi yang menunjukkan betapa mulianya akhlak Imam Nawawi rahimahullah ta’ala. Tapi Imam Nawawi justru menyebutkan secara umum “siapapun” yang meninggal di masa fatrah jika selama hidupnya kafir menyembah berhala, maka dia akan masuk neraka.
Dan tentunya Imam Nawawi lebih tahu daripada kita bahwa sampai saat ini tidak ada satupun riwayat shahih yang menyatakan ayahanda Rasulullah SAW Sayyid Abdullah pernah menyembah berhala atau berlaku musyrik. Bahkan sejumlah riwayat menjelaskan bahwa Sayyid Abdullah ini orang shaleh yang mengikuti agama millah Ibrahim as sebagaimana pendapat Imam Fakhrurozi. Hingga namanya pun Abdullah yang berarti Hamba Allah berbeda dengan paman Nabi yang diberikan nama Abu Lahab.
Terlebih ibunda Rasulullah SAW yang kasyaf bisa melihat cahaya Allah saat lahirnya baginda Rasulullah SAW, diberikan keistimewaan oleh Allah bisa melihat negeri Persia, Romawi dan Kisra pada saat bayi Muhammad SAW lahir ke alam dunia, setidaknya cukup memberikan gambaran kedekatan Ibunda Rasulullah SAW dengan Allah SWT. Apalagi banyak riwayat yang menyebutkan, selama hamilnya Sayyidah Aminah kerap didatangi para Nabi dari mulai Nabi Adam as hingga Nabi-nabi lainnya bahkan para malaikat pun selalu mengunjunginya. Ini cukup menjadi gambaran kedekatan Sayyidah Aminah dengan Allah SWT.
Jadi menurut hemat saya yang awam, Imam Nawawi yang jelas bermadzhab Syafi’i tidak mungkin mengatakan Ayahanda Rasulullah SAW masuk neraka. Justru diakhir paragraf Imam Nawawi ingin menjelaskan tentang kemuliaan akhlak Rasulullah SAW. Kenapa Rasulullah SAW sampai mengatakan Ayahmu dan Ayahku di neraka, dijelaskan oleh Imam Nawawi:
هُوَ مِنْ حُسْنِ الْعِشْرَةِ لِلتَّسْلِيَةِ بِالِاشْتِرَاكِ فِي الْمُصِيبَةِ
Artinya: ” itu adalah bagian dari baiknya tata cara pergaulan Rasulullah SAW, agar menjadi penghibur dengan ikut memposisikan dirinya menjadi bagian dari mushibah/ kesedihan (yang dialami orang lain).”
Terlebih dalam kajian hadits, hadits ini meskipun diriwayatkan oleh Imam Muslim namun termasuk kategori hadits ahad bukan hadits mutawatir. Banyak ayat dan hadits lain yang akan menjadi kontradiktif jika disandingkan dengan hadits ahad yang diklaim sebagai dalil kafirnya orang tua Rasulullah SAW oleh segelintir golongan ini. Diantaranya di dalam Mujaz al-Kalam Muhammad Ba ‘Athiyah hlm. 37 disebutkan hadits mutawatir:
لَمْ أَزَلْ أُنْقَلُ مِنَ اْلأَصْلاَبِ الطَّاهِرَاتِ إِلَى اْلأَرْحَامِ الزَّاكِيَاتِ
Artinya: “Aku selalu dipindah-pindahkan dari tulang rusuk yang suci ke rahi-rahim yang bersih.”
Secara eksplisit Rasulullah SAW menyebutkan tulang rusuk (ayahnya) yang suci dan rahim (ibunya) yang bersih. Jika kedua orang tua Rasulullah SAW musyrik atau kafir, maka akan kontradiktif dengan Quran surat At Taubah ayat 28 yang menyatakan orang musyrik itu najis:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّمَا ٱلْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis,..”
Rasulullah SAW itu pengemban risalah nubuwah, yang nur atau cahayanya sudah ada sejak sebelum Nabi Adam as diciptakan, tak mungkin kiranya Allah menitipkan cahaya kemuliaan yang suci ini di sulbi dan rahim yang najis.
Bahkan As-Suhaili meriwayatkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Hakim dari Ibnu Mas’ud yang menyatakan Rasulullah SAW akan memberikan syafaatnya untuk kedua orang tuanya:
سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَبَوَيْهِ فَقَالَ مَا سَأَلْتُهُمَا رَبِّي فَيُعْطِيْنِي فِيْهِمَا وَإِنِّي الْقَائِمُ يَوْمَئِذٍ الْمَقَامَ الْمَحْمُوْدَ
Artinya: “Rasulullah SAW ditanya tentang ayahanda dan ibunda beliau, beliau menjawab: ‘Sesuatu yang aku minta kepada Tuhanku untuk kedua orang tuaku, Allah memberikannya kepadaku untuk kedua orang tuaku, dan aku yang akan mengurus mereka saat dalam maqam mahmud [syafaat].” (HR. Imam Al Hakim)
Rasanya tak mungkin Rasulullah SAW akan memberikan syafaat untuk kedua orang tuanya, jika kedua orang tua Rasulullah SAW kafir. Ditambahkan pula oleh Syekh Jalaluddin As-Suyuthi dalam Ad-Dibaj Syarah Shahih Muslim Ibnil Hajjaj menyatakan hadits riwayat Imam Muslim diatas bahkan sudah tidak berlaku karena sudah dimansukh oleh hadist Sayidatina Aisyah ra:
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة وزهير بن حرب قالا حدثنا محمد بن عبيد عن يزيد بن كيسان عن أبي حازم عن أبي هريرة قال زار النبي صلى الله عليه و سلم قبر أمه الحديث قال النووي هذا الحديث وجد في رواية أبي العلاء بن ماهان لأهل المغرب ولم يوجد في روايات بلادنا من جهة عبد الغافر الفارسي ولكنه يوجد في أكثر الأصول في آخر كتاب الجنائز ويضبب عليه وربما كتب في الحاشية ورواه أبو داود والنسائي وابن ماجة قلت قد ذكر بن شاهين في كتاب الناسخ والمنسوخ أن هذا الحديث ونحوه منسوخ بحديث إحيائها حتى آمنت به وردها الله وذلك في حجة الوداع ولي في المسألة سبع مؤلفات
Artinya, “Dari Abu Hurairah RA, Nabi Muhammad SAW menziarahi makam ibunya dan seterusnya. Menurut Imam An-Nawawi, ‘Hadits ini terdapat pada riwayat Abul Ala bin Mahan penduduk Maghrib, tetapi tidak terdapat pada riwayat orang-orang desa kami dari riwayat Abdul Ghafir Al-Farisi. Namun demikian hadits ini terdapat di kebanyakan ushul pada akhir Bab Jenazah dan disimpan. Tetapi terkadang ditulis di dalam catatan tambahan. Hadits ini diiwayatkan Abu Dawud, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah.’ Hemat saya jelas, Ibnu Syahin menyebutkan di dalam kitab Nasikh dan Mansukh bahwa hadits ini dan hadits yang semakna dengannya telah dimansukh oleh hadits yang menerangkan bahwa Allah menghidupkan kembali ibu Rasulullah SAW sehingga ia beriman kepada anaknya, lalu Allah mewafatkannya kembali. Ini terjadi pada Haji Wada’. Perihal masalah ini saya telah menulis tujuh kitab,” (Lihat Abdurrahman bin Abu Bakar, Abul Fadhl, Jalaluddin As-Suyuthi, Ad-Dibaj Syarah Shahih Muslim Ibnil Hajjaj).
Demikian pula Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani dalam karyanya Nuruz Zhalam Syarah Aqidatil Awam menguatkan pendapat Syekh Ibrahim Al Baijuri:
قال الباجوري فالحق الذي نلقى الله عليه أن أبويه صلى الله عليه وسلم ناجيان على أنه قيل أنه تعالى أحياهما حتي آمنا به ثم أماتهما لحديث ورد في ذلك وهو ما روي عن عروة عن عائشة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم سأل ربه أن يحيي له أبويه فأحياهما فآمنا به ثم أماتهما. قال السهيلي والله قادر على كل شيء له أن يخص نبيه بما شاء من فضله وينعم عليه بما شاء من كرامته.
Artinya, “Syekh Ibrahim Al-Baijuri mengatakan, ‘Yang benar adalah bahwa kedua orang tua Rasulullah SAW selamat dari siksa neraka berdasarkan riwayat yang menyebutkan bahwa Allah SWT menghidupkan kembali kedua orang tua Rasulullah SAW sehingga keduanya beriman kepada anaknya, lalu Allah SWT mewafatkan kembali keduanya. Sebuah riwayat hadits dari Urwah dari Sayidatina Aisyah RA menyebutkan bahwa Rasululah SAW memohon kepada Allah SWT untuk menghidupkan kedua orang tuanya sehingga keduanya beriman kepada anaknya, lalu Allah SWT mewafatkan kembali keduanya. As-Suhaili berkata bahwa Allah maha kuasa atas segala sesuatu, termasuk mengistimewakan karunia-Nya dan melimpahkan nikmat-Nya kepada kekasih-Nya Rasulullah SAW sesuai kehendak-Nya,” (Lihat Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani, Syarah Nuruzh Zhalam ala Aqidatil Awam, Karya Toha Putra, Semarang, Tanpa Tahun, Halaman 27)
Sedangkan Imam Fakhrurozi dalam Asrorut Tanzil mengatakan bukan saja kedua orang tua Rasulullah SAW, tapi seluruh orang tua para Nabi terdahulu pun muslim yang bersujud pada Allah semata. Demikian pula ayah Nabi Ibrahim as adalah muslim karena Azar bukanlah ayah kandung Nabi Ibrahim as melainkan ayah asuh atau pamannya.
Banyak sebenarnya dalil-dalil yang bisa diutarakan terkait bantahan kafir dan masuk nerakanya kedua orang tua Rasulullah SAW, namun setidaknya jawaban dari para ulama diatas bisa memberikan gambaran untuk kita semua. Bukan pula hadits Imam Muslimnya yang tidak shohih, tapi cara pandang dan penafsiran kita yang belum tentu shahih seshahih maksud Imam Muslim.
Wallahu’Alam…
(Ust. Yudha H. Bhaskara, SHI/ Ketua DKM Masjid Jami Ad Da’wah Balandongan Sukabumi dari berbagai sumber)