SEKILAS INFO
  • 3 tahun yang lalu / Masjid Independen bukan milik ormas, partai atau instansi tertentu tapi menjalin silaturahmi tanpa batas dengan siapapun
WAKTU :

Apakah boleh imam dan khatib jumat dilakukan oleh dua orang berbeda?

Terbit 19 November 2021 | Oleh : admin | Kategori :
Apakah boleh imam dan khatib jumat dilakukan oleh dua orang berbeda?

Kajian NGOPI (Ngobrol Perkara Islam)
Jamaah dan DKM Masjid Jami Ad Da’wah Balandongan

Diasuh oleh:
Ust. Yudha H. Bhaskara, SHI

Pertanyaan ke-26
Jamaah Bertanya:

Assalamulaikum wr wb,

Apakah boleh imam dan khatib jumat dilakukan oleh dua orang berbeda?

DKM Menjawab:

Waalaikumsalam wr wb,

Bismillahirrahmanirrahim…

Dalam mazhab Syafi’i yang menjadi mayotitas madzhab di Indonesia, tidak ada keharusan yang menjadi imam shalat Jumat harus sekaligus khatibnya. Sebagaimana tersirat dalam penjelasan Imam Syamsuddin Ar-Ramli (919-1004 H/1513-1596 M) ketika menjelaskan kesunnahan khatib untuk segera menuju ke mihrab (tempat Imam) setelah selesai khutbah bersamaan dengan muazin} mengumandangkan iqamah.

Tokoh mazhab Syafi’i asal Mesir berjuluk As-Syafi’i As-Shaghir menjelaskan:

لَوْ كَانَ الْإِمَامُ غَيْرَ الْخَطِيبِ وَهُوَ بَعِيدٌ عَنِ الْمِحْرَابِ أَوْ بَطِيءَ النَّهْضَةِ سُنَّ لَهُ الْقِيَامُ بِقَدْرٍ يَبْلُغُ بِهِ الْمِحْرَابَ، وَإِنْ فَاتَتْهُ سُنَّةُ تَأَخُّرِ الْقِيَامِ إلَى فَرَاغِ الْإِقَامَةِ

Artinya, “Andaikan imamnya bukan orang yang berkhutbah sementara posisinya jauh dari mihrab, atau ia orang yang lambat bangunnya, maka disunnahkan berdiri dahulu dengan ukuran waktu yang dengannya ia mampu mencapai mihrab, meskipun kehilangan kesunnahan menunda berdiri sampai muazin selesai dari iqamahnya,” (Lihat Muhammad bin Abil Abbas Al-Manufi al-Mishri, Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 1424 H/2003 M], cetakan ketiga, juz II, halaman 327).

Hal tersebut juga disebutkan secara terang-terangan dalam kitab Rahmatul Ummah karya Muhammad bin Abdirrahman Ad-Dimasyqi:

وَاخْتَلَفُوا هَلْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الْمُصَلِّي غَيْرَ الْخَاطِبِ؟ فَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: يَجُوزُ لِعُذْرِ. وَقَالَ مَالِكُ: لَا يُصَلِّي إِلَّا مَنْ خَطَبَ. وَلِلشَّافِعِيِّ قَوْلَانِ، اَلصَّحِيحُ الْجَوَازُ. وَعَنْ أَحْمَدَ رِوَايَتَانِ

Artinya, “Imam mazhab empat berbeda pendapat, apakah boleh yang mengimami shalat Jumat adalah selain orang yang berkhutbah? Lalu Imam Abu Hanifah berpendapat boleh bila karena ada uzur. Imam Malik berpendapat tidak boleh mengimami shalat Jumat kecuali orang yang berkhutbah. Imam Syafi’i punya dua pendapat, dan pendapat yang shahih adalah boleh. Sementara dari Imam Ahmad terdapat dua riwayat (yang membolehkan dan tidak membolehkan),” (Lihat Muhammad bin Abdirrahman Ad-Dimasyqi As-Syafi’i, Rahmatul Ummah fi Ikhtilafil Aimmah, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah: tanpa keterangan tahun], juz halaman 50).

Dari kutipan keterangan di atas diketahui bahwa masalah ‘siapa yang boleh menjadi imam shalat Jumat, apakah orang yang berkhutbah atau orang lain’ merupakan permasalahan khilafiyah imam mazhab empat. Bahkan Imam As-Syafi’i juga punya dua pendapat, sebagaimana dari Imam Ahmad diwariskan dua riwayat pendapatnya.

Memang ada hadits dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang menjadi rujukan imam harus sekaligus khatib:

إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا

Artinya: “Apabila seseorang kamu masuk ke masjid ketika imam sedang berkhutbah, maka hendaklah ia shalat dua rakaat (shalat tahiyatul masjid), dan hendaklah mempercepatnya.” [HR Muslim]

Menurut Imam An-Nawawi (w. 676 H/1277 M) dalam Syarah Shahih Muslim Juz III halaman 256, menyebutkan beberapa kandungan hadis Jabir RA di atas, tetapi tidak menyebutkan bahwa hadis itu berisi penegasan bahwa imam adalah khatib yang berkhutbah. Sebab ada hadits lain yang menunjukkan kriteria imam shalat sebagaimana hadits Imam Muslim dari Abu Mas’ud al-Anshari (w. 42 H/662 M):

عَنْ أَبِى مَسْعُودٍ الأَنْصَارِىِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمّ: يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ فَإِنْ كَانُوا فِى الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِى السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِى الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا … [رواه مسلم]

Artinya: “Dari Abu Mas’ud al-Anshari (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Suatu jamaah diimami oleh orang yang paling baik bacaannya (paling qari) tentang Kitab Allah (al-Quran). Jika mereka sama dalam hal qiraat (bacaan), maka orang yang paling memahami sunnah. Jika mereka sama dalam memahami sunnah, maka orang yang paling dahulu berhijrah. Jika mereka sama dalam hijrah, maka orang yang paling dulu masuk Islam …” [HR Muslim]

Para ulama sendiri berbeda pendapat apakah yang menjadi imam itu diutamakan orang yang lebih Qari atau yang lebih Faqih (Ahli Fiqh). Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i dan pengikutnya menyatakan bahwa orang yang lebih faqih lebih diutamakan menjadi imam daripada orang yang lebih qari.

Dalam kitab Hasyiyah al-Jamal juga disebutkan:

لَوْ خَطَبَ شَخْصٌ وَأَرَادَ أَنْ يُقَدِّمَ شَخْصًا غَيْرَهُ لِيُصَلِّيَ بِالْقَوْمِ فَشَرْطُهُ أَنْ يَكُوْنَ مِمَّنْ سَمِعَ الْخُطْبَةَ

“Jika seseorang membacakan khutbah lantas ia menghendaki untuk mengajukan orang lain untuk menjadi imam salat, maka disyaratkan ia merupakan orang yang mendengar khutbah.”

Sementara dalam Kitab Bughyah al-Mustarsyidin disebutkan:

وَإِنِ اسْتَخْلَفَ فِي الْخُطْبَةِ مَنْ سَمِعَ أَوْ خَطَبَ وَأَمَّ مَنْ سَمِعَهَا صَحَّ لَكِنِ الْاِسْتِخْلَافُ خِلَافُ الْأَوْلَى

“Jika sang khatib posisinya sebagai khatib digantikan oleh orang yang mendengarkan khutbah atau ia tetap menjadi khatib namun yang mengimami salat ialah orang lain yang mendengarkan khutbah, maka hukumnya sah. Namun penggantian khatib di tengah-tengah khutbah dihukumi kurang baik.”

Dan lebih rinci lagi dalam kitab Al-Bada’I disebutkan:

ولو أحدث الإمام بعد الخطبة قبل الشروع في الصلاة فقم رجلا يصلي بالناس إن كان ممن شهد الخطبة أو شيئاً منها جاز، وإن لم يشهد شيئاً منها لم يجز ويصلي بهم الظهر وهو ما ذهب إليه جمهور الفقهاء. وخالف في ذلك المالكية فذهبوا إلى وجوب كون الخطيب والإمام واحداً إلا لعذر كمرض

“Jika khatib mengalami hadats seusai khutbah sebelum mulai shalat, kemudian dia menyuruh salah seorang untuk menjadi imam shalat, ada dua rincian:
Jika orang ini mendengarkan khutbah atau mendengarkan sebagian khutbah, maka dia boleh jadi imam.
Jika orang ini tidak mendengar khutbah sama sekali maka tidak boleh jadi imam. Pada kondisi ini, mereka shalat zuhur. Inilah pendapat mayoritas ulama.
Sementara malikiyah berbeda, mereka berpendapat bahwa khatib wajib yang menjadi imam, kecuali karena udzur, seperti sakit.. (Bada’I Shana’I, 3/40)”

Wallahu’alam…

Wassalamu alaikum wr wb.

Ust. Yudha H Bhaskara, SHI
Ketua DKM Masjid Jami Ad Da’wah Balandongan

SebelumnyaApakah boleh shalat tahajud setengah jam sebelum shalat subuh? SesudahnyaSaya ingin bertaubat, apakah benar salah satu syarat bertaubat harus memakai cadar?

Tausiyah Lainnya