Saya ingin bertaubat, apakah benar salah satu syarat bertaubat harus memakai cadar?

Kajian NGOPI (Ngobrol Perkara Islam)
Jamaah dan DKM Masjid Jami Ad Da’wah Balandongan

————————————–

Pertanyaan ke-27
Jamaah Bertanya:

Assalamulaikum wr wb,

Saya ingin bertaubat, apakah benar salah satu syarat bertaubat harus memakai cadar?

DKM Menjawab:

Waalaikumsalam wr wb,

Bismillahirrahmanirrahim…

Semoga hidayah Allah senantiasa mendampingi kita dalam setiap gerak langkah dan semoga kita semua diberikan kemulyaan istiqamah dalam ibadah hingga diwafatkan oleh Allah dalam keadaan Husnul khatimah.

Bertaubat dan memakai cadar sebenarnya dua pembahasan berbeda yang tidak berkaitan langsung. Bertaubat adalah keharusan agar kita selamat kelak di yaumil hisab, sementara memakai cadar adalah masalah khilafiyah di dalam fiqh.

Memakai cadar tidak termasuk salah satu syarat taubat, sebab ini akan memberatkan seseorang yang ingin bertaubat. Bisa jadi seseorang yang akan bertaubat justru akan mengurungkan niatnya bertaubat karena belum siap memakai cadar. Sementara menunda-nunda bertaubat termasuk dilarang oleh agama.

Jika keliru dalam memahami hukum bercadar maka dikhawatirkan akan memunculkan stigma negatif bagi yang tidak memakai cadar, dan juga akan merusak nilai pahala yang sudah bercadar jika melahirkan sifat ‘ujub, bahwa yang sudah bertaubat dan sudah sholehah seolah hanya yang sudah bercadar.

Untuk itu ada baiknya kita melihat pendapat para ulama dan aulia akan hal ini. Di dalam Kitab Al-Ghunyah Syekh Abdul Qadir Al-Jilani menjelaskan ada tiga syarat agar taubat kita diterima oleh Allah SWT :

أما شروطها فثلاثة: أولها الندم على ما عمل من المخالفات وهو قول النبي صلى الله عليه وسلم الندم توبة. وعلامة صحة الندم رقة القلب وغزارة الدمع ولهذا روي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: جالسوا التوابين فإنم أرق أفئدة. والثاني ترك الزلات في جميع الحالات والساعات. والثالث العزم على ألا يعود إلى مثل ما اقترف من المعاصى والخطيئات

Artinya, “Syarat tobat ada tiga: pertama, menyesali atas kesalahan dan kekeliruan yang dilakukan, ini berdasarkan hadis Rasulullah, ‘Menyesali kesalahan adalah tobat’. Tanda dari penyesalan adalah lembutnya hati dan berderainya air mata. Sebab itu, Rasulullah mengatakan, ‘Berkumpullah bersama orang yang bertobat, karena hati mereka lembut’. Kedua, meninggalkan setiap kesalahan di mana pun dan kapan pun. Ketiga, berjanji dan berusaha untuk tidak kembali pada dosa dan kesalahan.”

Dalam keterangan ini memakai cadar tidak disebutkan termasuk salah satu syarat bertaubat. Karena bercadar atau menutup wajah bagi wanita masuk dalam pembahasan fiqh. Ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukum bercadar ini. Di dalam kitab Al-Mawsu’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah dijelaskan tentang perbedaan pendapat ulama madzhab dalam masalah cadar.

Menurut madzhab Hanafi memakai cadar tidak wajib karena wajah bukan bagian aurat. Syekh Al-Marghinani dari mazhab Hanafi berkata:

وَبَدَنُ الْحُرَّةِ كُلُّهَا عَوْرَةٌ إِلَّا وَجْهَهَا وَكَفَّيْهَا

Artinya: “Dan keseluruhan badan perempuan merdeka adalah aurat, kecuali wajahnya dan kedua telapak tangannya.” (Lihat: Ali bin Abu Bakar al-Marghinani, al-Hidayah Syarh Al-Bidayah, juz 1, h. 285).

Tapi khusus bagi wanita muda menurut madzhab Hanafi dianjurkan menutup wajahnya agar menghindari fitnah.

فَذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ ( الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ ) إِلَى أَنَّ الْوَجْهَ لَيْسَ بِعَوْرَةٍ ، وَإِذَا لَمْ يَكُنْ عَوْرَةً فَإِنَّهُ يَجُوزُ لَهَا أَنْ تَسْتُرَهُ فَتَنْتَقِبَ ، وَلَهَا أَنْ تَكْشِفَهُ فَلاَ تَنْتَقِبَ .قَال الْحَنَفِيَّةُ : تُمْنَعُ الْمَرْأَةُ الشَّابَّةُ مِنْ كَشْفِ وَجْهِهَا بَيْنَ الرِّجَال فِي زَمَانِنَا ، لاَ لِأَنَّهُ عَوْرَةٌ ، بَل لِخَوْفِ الْفِتْنَةِ

Artinya, “Mayoritas fuqaha (baik dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) berpendapat bahwa wajah bukan termasuk aurat. Jika demikian, wanita boleh menutupinya dengan cadar dan boleh membukanya. Menurut madzhab Hanafi, di zaman kita sekarang wanita muda (al-mar`ah asy-syabbah) dilarang memperlihatkan wajah di antara laki-laki. Bukan karena wajah itu sendiri adalah aurat tetapi lebih karena untuk mengindari fitnah,” (Lihat Al-Mawsu’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, juz XLI, halaman 134).

Sementara madzhab Maliki menetapkan makruh menggunakan cadar karena termasuk ghuluw atau berlebihan dalam beragama.
Namun bagi wanita muda yang berwajah cantik dianjurkan menutup wajahnya agar terhindar dari fitnah.

وَقَال الْمَالِكِيَّةُ : يُكْرَهُ انْتِقَابُ الْمَرْأَةِ – أَيْ : تَغْطِيَةُ وَجْهِهَا ،وَهُوَ مَا يَصِل لِلْعُيُونِ – سَوَاءٌ كَانَتْ فِي صَلاَةٍ أَوْ فِي غَيْرِهَا ، كَانَ الاِنْتِقَابُ فِيهَا لِأجْلِهَا أَوْ لاَ ، لِأَنَّهُ مِنَ الْغُلُوِّ.وَيُكْرَهُ النِّقَابُ لِلرِّجَال مِنْ بَابِ أَوْلَى إِلاَّ إِذَا كَانَ ذَلِكَ مِنْ عَادَةِ قَوْمِهِ ، فَلاَ يُكْرَهُ إِذَا كَانَ فِي غَيْرِ صَلاَةٍ ، وَأَمَّا فِي الصَّلاَةِ فَيُكْرَهُ .وَقَالُوا : يَجِبُ عَلَى الشَّابَّةِ مَخْشِيَّةِ الْفِتْنَةِ سَتْرٌ حَتَّى الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ إِذَا كَانَتْ جَمِيلَةً ، أَوْ يَكْثُرُ الْفَسَادُ.

Artinya, “Madzhab Maliki berpendapat bahwa dimakruhkan wanita memakai cadar—artinya menutupi wajahnya sampai mata—baik dalam shalat maupun di luar shalat atau karena melakukan shalat atau tidak karena hal itu termasuk berlebihan (ghuluw). Dan lebih utama cadar dimakruhkan bagi laki-laki kecuali ketika hal itu merupakan kebiasaan yang berlaku di masyarakatnya, maka tidak dimakruhkan ketika di luar shalat. Adapun dalam shalat maka dimakruhkan. Mereka menyatakan bahwa wajib menutupi kedua telapak tangan dan wajah bagi perempuan muda yang dikhawatirkan bisa menimbulkan fitnah, apabila ia adalah wanita yang cantik, atau maraknya kebejatan moral,” (Lihat Al-Mawsu’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, juz, XLI, halaman 134).

Sementara dalam madzhab Syafii ada tiga pendapat :

وَاخْتَلَفَ الشَّافِعِيَّةُ فِي تَنَقُّبِ الْمَرْأَةِ ، فَرَأْيٌ يُوجِبُ النِّقَابَ عَلَيْهَا ، وَقِيل : هُوَ سُنَّةٌ ، وَقِيل : هُوَ خِلاَفُ الأَوْلَى

Artinya, “Madzhab Syafi’i berbeda pendapat mengenai hukum memakai cadar bagi perempuan. Satu pendapat menyatakan bahwa hukum mengenakan cadar bagi perempuan adalah wajib. Pendapat lain (qila) menyatakan hukumnya adalah sunah. Dan ada juga yang menyatakan khilaful awla,” (Lihat Al-Mawsu’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, juz, XLI, halaman 134)

Dari kalangan Syafiiyah yang menyatakan wajib diantaranya berdasarkan pada pembagian aurat linadzaril ajanib:

أَنَّ لَهَا ثَلَاثُ عَوْرَاتٍ عَوْرَةٌ فِي الصَّلَاِة وَهُوَ مَا تَقَدَّمَ، وَعَوْرَةٌ بِالنِّسْبَةِ لِنَظَرِ الْاَجَانِبِ إِلَيْهَا جَمِيعُ بَدَنِهَا حَتَّى الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ

Artinya: “Bahwa perempuan memiliki tiga uarat. Pertama, aurat dalam shalat dan hal ini telah dijelaskan. Kedua aurat yang terkait dengan pandangan orang lain kepadanya (linadzaril ajanib) yaitu seluruh badannya termasuk wajah dan kedua telapak tangannya menurut pendapat yang mu’tamad…” (Lihat Abdul Hamid asy-Syarwani, Hasyiyah asy-Syarwani, Bairut-Dar al-Fikr, juz, II, h. 112)

Sementara di kalangan Syafiiyah yang berpendapat sunah karena wajah dan tangan bukan termasuk aurat sebagaimana pendapat Imam Nawawi:

وَأَمَّا الْمَرْأَةُ فَإِنْ كَانَتْ حُرَّةً فَجَمِيْعُ بَدَنِهَا عَوْرَةٌ إِلَّا الْوَجْهَ وَالْكَفَّيْنِ

Artinya: “Adapun perempuan, jika merdeka, maka seluruh tubuhnya merupakan aurat, kecuali wajah dan kedua telapak tangan.” (Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Raudhatut Thalibin, juz 1, h. 104).

Demikian pula pendapat madzhab Hambali tidak mewajibkan bercadar karena wajah bukanlah bagian aurat. Sebagaimana pendapat Syekh Ibnu Qudamah al-Hanbali:

وَالْمَرْأَةُ كُلُّهَا عَوْرَةٌ إِلَّا الْوَجْهَ، وَفِي الْكَفَّيْنِ رِوَايَتَانِ

Artinya: “Dan seluruh tubuh perempuan adalah aurat, kecuali wajah. Sedangkan terkait kedua telapak tangan terdapat dua riwayat.” (Abdullah bin Qudamah, al-Kafi fi Fiqhil Imam Ahmad, juz 2, h. 20).

Adapun mengenakan cadar pada saat ihram, jika tidak ada kondisi mendesak, para ulama madzhab menilainya haram karena ada hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

وَلاَ تَنْتَقِبُ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ، وَلاَ تَلْبَسُ القُفَّازَيْنِ

Artinya: “Dan seorang wanita yang berihram tidak boleh memakai cadar dan tidak boleh memakai kaos tangan.”

Sedangkan mengenakan cadar pada saat shalat ulama menghukuminya makruh. Sebagaimana disebutkan Syekh Mansur bin Yunus Al-Bahuti:

وَيُكْرَهُ أَنْ تُصَلِّيَ فِي نِقَابٍ وَبُرْقُعٍ بِلَا حَاجَةٍ، قَالَ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ: أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ عَلَى الْمَرْأَةِ أَنْ تَكْشِفَ وَجْهَهَا فِي الصَّلَاةِ وَالْإِحْرَامِ.

Artinya: “Dan dimakruhkan bagi perempuan shalat dengan (memakai) cadar dan burqu’, tanpa ada hajat. Ibnu Abdil Bar berkata: Para ulama bersepakat bahwa seorang perempuan harus membuka wajahnya pada saat shalat dan ihram. (Lihat: Mansur bin Yunus Al-Bahuti, Kasysyaful Qina an Matnil Iqna’, juz 2, h. 256).

Demikian perbedaan pendapat para ulama terkait mengenakan cadar kami sampaikan agar sudut pandang kita terhadap wanita yang belum memakai cadar menjadi lebih obyektif. Sehingga kategori sudah taubat atau belum bertaubat bukan lagi dilihat dari memakai cadar atau tidak memakai cadar.

Wallahu’Alam…

(Dinukil oleh Ust. Yudha H. Bhaskara, SHI/ Ketua DKM Masjid Jami Ad Da’wah Balandongan Sukabumi dari berbagai sumber)