Apakah boleh menikahkan walinya ayah tiri? Sebaiknya jika diganti walinya harus siapa, dan apa syarat wali hakim?
Kajian NGOPI (Ngobrol Perkara Islam)
Jamaah dan DKM Masjid Jami Ad Da’wah Balandongan
————————————–
Pertanyaan ke-38
Jamaah Bertanya:
Assalamulaikum wr wb,
Pak ustadz Apakah boleh menikahkan walinya ayah tiri? Sebaiknya jika diganti walinya harus siapa, dan apa syarat wali hakim?
DKM Menjawab:
Wa’alaikumusalam wr wb,
Bismillahirrahmanirrahim…
Semoga rahmat Allah senantiasa tercurah kepada kita semua. Dan semoga kita semua diberikan keistiqamahan dalam melaksanakan ajaran Rasulullah SAW.
Wali merupakan salah satu rukun nikah, keabsahannya sangat penting. Jika salah satu rukun nikah tidak sah maka seluruh prosesi pernikahan pun batal. Dan keberadaan wali sangat penting untuk diperhatikan, karena dikhawatirkan jika asal dalam memilih wali maka kedua mempelai yang niatnya nikah secara syar’i justru akan terjerumus dalam jurang perzinahan.
Imam Zakaria al-Anshari dalam Fathul Wahab bi Syarhi Minhaj al-Thalab menyebutkan rukun nikah semuanya ada lima termasuk wali:
فَصْلٌ: فِي أَرْكَانِ النِّكَاحِ وَغَيْرِهَا. ” أَرْكَانُهُ ” خَمْسَةٌ ” زَوْجٌ وَزَوْجَةٌ وَوَلِيٌّ وَشَاهِدَانِ وَصِيغَةٌ
Artinya : “Pasal tentang rukun-rukun nikah dan lainnya. Rukun-rukun nikah ada lima, yakni mempelai pria, mempelai wanita, wali, dua saksi, dan shighat. (Fathul Wahab bi Syarhi Minhaj al-Thalab Beirut: Dar al-Fikr, juz II, hal. 41)
Sementara wali didefinisikan oleh Seykh Mustafa al-Khin dan Syekh Musthafa al Bugha sebagai berikut:
الولاية في اللغة: تأتي بمعنى المحبة والنصرة. …والولاية في الشرع: هي تنفيذ القول على الغير، والإشراف على شؤونه
Artinya: “Perwalian secara bahasa bermakna cinta atau pertolongan…perwalian secara syari ialah menyerahkan perkataan pada orang lain dan pengawasan atas keadaannya” (-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam al-Syâfi’i (Surabaya: Al-Fithrah, 2000), juz IV, hal. 60)
Lantas siapa saja yang bisa menjadi wali nikah sesuai syar’i? Imam Abu Suja’ dalam kitab Matan al-Ghâyah wa Taqrîb menyebutkan urutan wali nikah sebagai berikut:
وأولى الولاة الأب ثم الجد أبو الأب ثم الأخ للأب والأم ثم الأخ للأب ثم ابن الأخ للأب والأم ثم ابن الأخ للأب ثم العم ثم ابنه على هذا الترتيب فإذا عدمت العصبات ف…الحاكم
Artinya: “Wali paling utama ialah ayah (mempelai wanita), kakek (ayahnya ayah mempelai wanita), saudara lelaki seayah seibu kandung (mempelai wanita baik adik maupun kakak kandung), saudara lelaki (mempelai wanita) seayah (beda ibu), anak lelaki saudara lelaki (mempelai wanita) seayah seibu kandung, anak lelaki saudara lelaki seayah (mempelai wanita), paman dari pihak ayah (mempelai wanita baik kakak maupun adik kandung ayah), dan anak lelaki paman (mempelai wanita) dari pihak ayah. Demikianlah urutannya. Apabila tidak ada waris ‘ashabah, maka…hakim.” (Matan al-Ghâyah wa Taqrîb Surabaya: Al-Hidayah, 2000, hal. 31)
Sehingga bisa dipastikan ayah tiri atau ayah angkat tidak bisa menjadi wali nikah. Meski demikian, dari yang disebutkan Imam Abu Suja’ diatas, tidak semuanya bisa menjadi wali kecuali memenuhi syarat sebagai berikut:
ويفتقر الولي والشاهدان إلى ستة شرائط: الإسلام والبلوغ والعقل والحرية والذكورة والعدالة
Artinya : “Wali dan dua saksi membutuhkan enam persyaratan: islam (bukan kafir atau murtad), baligh (bukan anak kecil), berakal (bukan orang gila), merdeka, lelaki, dan adil”.
Kemudian terkait wali hakim, ini juga perlu diperhatikan karena sering terjadi kekeliruan di masyarakat, seolah siapa saja bisa menjadi wali hakim. Semisal orang yang ditokohkan dalam satu kampung, atau orang yang biasa manangani pernikahan “bawah tangan” dengan serta merta menjadi wali hakim.
Padahal tidak demikian, wali hakim harus petugas resmi yang ditunjuk negara. Bahkan Rasulullah SAW menyebutkan wali nikah haruslah seorang sulthan, sebagaimana sabdanya:
فَإِنَّ السُّلْطَانَ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ
Artinya, “Sungguh Sulthan (penguasa) adalah wali bagi perempuan yang tidak memiliki wali,” (HR. Ahmad).
Di negara kita Sulthan adalah Presiden. Tak mungkin Presiden menjadi wali hakim bagi 200 juta penduduk Negara Indonesia. Untuk itu ada pendelegasian dari Presiden ke Menteri Agama. Didelegasikan lagi ke Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi, didelegasikan lagi ke kantor wilayah kementerian agama kota/ kabupaten. Didelegasikan lagi ke Kantor Urusan Agama Kecamatan, didelegasikan lagi ke penghulu di masing-masing KUA. Sehingga wali hakim seharusnya petugas resmi pemerintah di KUA setempat atas nama negara bukan atas nama pribadi.
Hal ini juga sudah ditetapkan negara dalam Pasal 1 huruf b Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyebutkan: “Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah.”
Jadi untuk menjaga kehati-hatian (ikhtiyat) sebaiknya jika ingin menggunakan wali hakim dengan sebab ketiadaan wali nasab maka berkonsultasilah ke KUA setempat agar wali hakimnya bisa diangkat dari petugas resmi yang diberikan mandat oleh negara. Ini penting dilakukan karena akan berdampak pada sah atau tidak sahnya pernikahan yang akan berdampak pula pada garis keturunan dari hasil pernikahan. Jangan asal mengangkat wali hakim yang tidak kompeten.
Wallahu’Alam
(Ust. Yudha H. Bhaskara, SHI/ Ketua DKM Masjid Jami Ad Da’wah Balandongan Sukabumi dari berbagai sumber)