Apakah membaca shalawat karena ingin bertemu Rasulullah SAW tidak ikhlas?
Kajian NGOPI (Ngobrol Perkara Islam)
Jamaah dan DKM Masjid Jami Ad Da’wah Balandongan
Diasuh oleh:
Ust. Yudha H. Bhaskara, SHI
Pertanyaan ke-22
Jamaah Bertanya:
Apakah membaca shalawat karena ingin bertemu Rasulullah SAW termasuk tidak ikhlas?
DKM Menjawab:
Bismillahirrahmanirrahim…
Segala sesuatu tentu harus dilandasi dengan ilmu, sebisa mungkin hawa nafsu kita pinggirkan jika berkaitan dengan agama. Terutama jika diminta menilai ibadah seseorang, dewasa ini terlalu mudah orang menilai amalan seseorang tidak ikhlas, padahala ikhlas adanya di dalam hati yang dalamnya tak ada satupun samudera yang mampu menandingi. Maka jika kita tak sanggup menyelami hati seseorang, sebaiknya kembalikan apa yang tidak bisa kita lihat kepada Allah SWT. Toh ikhlas dan tidak ikhlasnya seseorang bukan kita pula yang merugi kelak di akhirat. Jadi sebaiknya memperbanyak amal ibadah, hindari syak wa sangka negatif pada orang lain.
Pun demikian, ibadah yang mempunyai unsur kepentingan lain selain “Lillahi ta’ala” di dalam Islam sejatinya masih dibenarkan oleh para ulama. Semisal ketika shalat dhuha, banyak diantara kita shalat dhuha dengan niat tambahan meminta dimudahkan urusan di dunia kepada Allah. Demikian pula banyak diantara kita yang membaca shalawat karena mempunyai niat ingin bermimpi bertemu Rasulullah SAW. Jika semua itu dihukumi tidak ikhlas, maka sangat sedikit sekali ibadah kita yang akan diterima oleh Allah, sedangkan Allah itu Rahman dan Rahim.
Untuk itu, jika kita ingin membicarakan masalah agama, jika keilmuan kita sangat minim maka ada baiknya kita menyandarkan kekurangan kita ini kepada keilmuan para ulama terdahulu yang ilmunya jauh lebih tinggi. Misalkan ketika membahas masalah ikhlas, kita sandarkan pada pendapat Syekh Nawawi At Tanara Al Bantani yang diakui dunia keilmuannya. Syekh Nawawi membagi ikhlas dalam tiga tingkatan sebagaimana disebutkannya dalam kitab Nashâihul ‘Ibad cetakan Darul Kutub Islamiyah, halaman 58 sebagai berikut:
فأعلى مراتب الاخلاص تصفية العمل عن ملاحظة الخلق بأن لا يريد بعبادته الا امتثال أمر الله والقيام بحق العبودية دون اقبال الناس عليه بالمحبة والثناء والمال ونحو ذلك
“Tingkatan ikhlas yang paling tinggi adalah membersihkan perbuatan dari perhatian makhluk (manusia) di mana tidak ada yang diinginkan dengan ibadahnya selain menuruti perintah Allah dan melakukan hak penghambaan, bukan mencari perhatian manusia berupa kecintaan, pujian, harta dan sebagainya.”
Tingkatan Pertama ini merupakan ikhlas yang sangat sulit dicapai oleh orang awam, karena ibadah murni semata ketaatan kepada Allah selaku hamba-Nya tanpa adanya keinginan mendapat balasan pahala, bahkan ikhlas tingkat ini ibadahnya bukan lagi untuk masuk surga ataupun untuk menghindari neraka tapi semata untuk menggapai ridha Allah.
والمرتبة الثانية أن يعمل لله ليعطيه الحظوظ الأخروية كالبعاد عن النار وادخاله الجنة وتنعيمه بأنواع ملاذها
“Tingkat ikhlas yang kedua adalah melakukan perbuatan karena Allah agar diberi bagian-bagian akhirat seperti dijauhkan dari siksa api neraka dan dimasukkan ke dalam surga dan menikmati berbagai macam kelezatannya.”
Tingkatan kedua ini tetap dinilai ikhlas walaupun saat beribadahnya selain “Lillahi ta’ala” juga ada keinginan dimasukan kedalam surga dan dijauhkan dari siksa neraka. Jadi bukan tidak ikhlas ketika beribadah terselip keinginan karena ibadahnya itu ingin menikmati segala kenikmatan yang ada di surga.
والمرتبة الثالثة أن يعمل لله ليعطيه حظا دنيويا كتوسعة الرزق ودفع المؤذيات
“Tingkatan ikhlas yang ketiga adalah melakukan perbuatan karena Allah agar diberi bagian duniawi seperti kelapangan rizki dan terhindar dari hal-hal yang menyakitkan.”
Untuk tingkatan paling bawah ini, meskipun terselip keinginan duniawi, tapi Syekh Nawawi dengan segala keilmuannya tetap menilainya masih dalam kategori ikhlas. Meskipun ikhlas dalam tingkatan terendah, karena diakui ataupun tidak, kebanyakan umat Islam yang masih awam memang berada dalam ikhlas tingkatan ini. Semisal shalat dhuha dengan keinginan diluaskan rezeki atau shalat tahajud dengan keinginan dimulyakan di dunia. Selama ibadahnya tidak disertai keinginan dipuji orang lain, atau bersedekah karena ingin dipilih masyarakat, atau mencari ilmu karena ingin disebut Ustadz, maka itu tidak termasuk riya.
Demikian pula jika membaca shalawat disertai keinginan bermimpi bertemu Rasulullah SAW, maka itu tak mengapa dan masih masuk dalam kategori ikhlas, karena banyak keterangan yang menyebutkan dengan memperbanyak shalawat akan bertemu dengan Rasulullah SAW, dan barang siapa yang bertemu Rasulullah SAW maka kebahagian akan menghampirinya.
من رأى المصطفى صلّى الله عليه وآله وسلّم في المنام فله حسن الخاتمة وشفاعته صلّى الله عليه وآله وسلّم وله الجنّة ويغفر الله له ولأبويه إن كانا مسلمين وكأنّما ختم القرآن اثني عشر مرة ويهون عليه سكرات الموت ويرفع عنه عذاب القبر ويؤمّنه من أهوال يوم القيامة ويقضى حوائجه فى الدنيا والآخرة بلطفه وكرمه
“Barang siapa telah melihat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam tidurnya maka ia akan mati dalam keadaan husnul khatimah, mendapatkan syafaat Nabi Muhammad dan akan masuk surga. Allah juga akan mengampuni dosanya dan kedua orang tuanya jika memang orang tuanya adalah orang Muslim. Ia juga seakan-akan telah mengkhatamkan Al-Qur’an sebanyak 12 kali, ia akan mudah dalam menghadapi sakaratul maut, ia juga akan diangkat dari siksa kubur dan diberi jaminan aman dari hiruk-pikuk di Hari Kiamat serta akan dikabulkan hajat dunia maupun akhirat dengan sifat lembut dan dermawan-Nya” (Syekh Hasan Muhammad Syaddad, Kaifiyah al-Wushul li Ru’yati Sayyidina ar-Rasul, hal. 18).
Terlebih shalawat berbeda dengan ibadah lainnya, jika ibadah lainnya dituntut ikhlas secara sempurna, namun shalawat mempunyai kekhususan tersendiri dan pasti diterima Allah SWT dalam kondisi apapun. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Darda’ ra:
كُلُّ الاَعْمَالِ فِيهَا الْمَقْبُولُ وَالمَرْدُودُ إِلَّا الصَّلاَةَ عَلَيَّ فَإِنَّهاَ مَقْبُولَةٌ غَيْرُ مَرْدُوْدَةٍ
“Semua amal manusia itu adakalanya ditolak dan adakalanya diterima kecuali shalawat kepadaku, karena itu selalu diterima”
Demikian pula menurut Sayyid Ahmad Zaini Dahlan dalam kitab Taqrib al-Ushul fî Tashil al-Wushul li-Ma’rifati Rabb wa Al-Rasul mengutip pendapat Habib Abdurrahman bin Musthafa Al-Idrus yang ditulis dalam Kitab Mir’at as-Syumus. Bahwa tidak ada yang menyangsikan mengenai kepastian diterimanya shalawat, menurut beliau hal ini telah banyak disepakati ulama:
إِنَّهُ يَعْدِمُ الْمُرَبُّوْنَ فِى أَخِرِ الزَّمَان ِوَيَصِيرُ مَا يُوصِلُ إِلَى اللهِ تَعاَلى إِلَّا الصَّلَاةَ عَلَى النَّبِيّ صلى الله عليه وآله وسلم مَنَامًا وَيَقَظَةً, وَإِنَّ جَمِيعَ الأَعْمَالِ مِنْهَا المَقْبُولُ وَمِنْهَا الْمَرْدُودُ إِلَّا الصَّلاةَ عَلَى النَّبِي صلى الله عليه وآله وسلم فَإِنَّهَا مَقْطُوعٌ بِقَبُولِهَا
“Pada akhir zaman sudah jarang ditemukan sosok yang dapat mendidik, sehingga tidak ada sesuatu yang bisa menghantarkan seseorang kepada Allah kecuali shalawat yang dibaca pada saat tidur dan terjaga. Karena sungguh semua amal manusia adakalanya ditolak dan adakalanya diterima kecuali shalawat kepada Nabi Muhammad saw. Karena itu sudah pasti dikabulkan”
Wallahu’Alam…
(Ust. Yudha H. Bhaskara, SHI/ Ketua DKM Masjid Jami Ad Da’wah Balandongan Sukabumi dari berbagai sumber)