Bagaimana hukum dan cara membayar hutang terhadap orang yang sudah meninggal dunia?
Kajian NGOPI (Ngobrol Perkara Islam)
Jamaah dan DKM Masjid Jami Ad Da’wah Balandongan
Diasuh oleh:
Ust. Yudha H. Bhaskara, SHI
Pertanyaan ke-15
Jamaah Bertanya:
Bagaimana hukum dan cara membayar utang terhadap orang yang sudah meninggal dunia?
DKM Menjawab:
Bismillahir Rahmanir Rahim…
Untuk menjawab pertanyaan ini ada baiknya kita bagi dua kasus ini menjadi dua hak dan kewajiban. Yakni hak dan kewajiban yang memberikan utang serta hak dan kewajiban yang berutang. Ini perlu dibahas karena banyak keterangan yang menyangkut utang piutang yang kadang kurang tepat pengambilan dalilnya. Dalil yang seharusnya untuk yang memberi utang justru digunakan oleh yang berutang untuk menekan orang yang memberi utang agar utangnya dibebaskan. Padahal hadist tersebut untuk yang memberi utang misalnya.
Pertama dan utama yang harus ditanamkan di dalam hati, sebisa mungkin jangan sampai kita mempunyai utang kepada siapapun, terutama berutang hanya untuk keperluan sepele atau hanya sekedar ingin terlihat kaya atau gaya-gayaan. Berutang jika terpaksa memang boleh dilakukan jika untuk perkara yang penting yang berkaitan dengan kebutuhan pokok, bukan untuk kebutuhan sepele, seperti meminjam uang untuk membeli handphone model terbaru, atau motor model terkini padahal dirinya sudah mempunyai handphone dan motor. Atau bahkan berutang demi bisa piknik dan shoping.
Mempunyai utang harus dihindari karena kondisi seseorang yang mempunyai banyak utang akan mengantarkannya pada dua kondisi, jika tidak menjadi pembohong maka dia akan menjadi orang yang ingkar janji. Untuk itulah Rasulullah SAW kerap berdoa agar senantiasa dijauhkan dari utang:
عَن عَائِشَةَ زَوجِ النَّبِيِّ -صلى الله عليه وسلم- أَخبَرَتهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَدعُو فِي الصَّلَاةِ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِن عَذَابِ القَبرِ وَأَعُوذُ بِكَ مِن فِتنَةِ المَسِيحِ الدَّجَّالِ وَأَعُوذُ بِكَ مِن فِتنَةِ المَحيَا وَفِتنَةِ المَمَاتِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِن المَأثَمِ وَالمَغرَمِ. فَقَالَ لَهُ قَائِلٌ: مَا أَكثَرَ مَا تَستَعِيذُ مِن المَغرَمِ. فَقَالَ: إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخلَفَ
Artinya: “Dari Aisyah RA, Rasulullah berdoa dalam sholat “Ya Allah aku berlindung kepadamu dari siksa kubur, dan aku belindung kepadamu dari fitnah Al Masih Ad-Dajjal, dan aku berlindung kepadamu dari fitnah saat hidup dan fitnah usai kematian. Ya Allah aku berlindung kepadamu dari berbuat dosa dan terlilit utang. Lalu ada seseorang yang bertanya: Mengapa Engkau banyak meminta perlindungan dari utang, wahai Rasulullah? Rasulullah menjawab: Sesungguhnya seseorang apabila sedang berutang ketika dia berbicara biasanya berdusta dan bila berjanji sering tidak menepatinya.” (HR Bukhari Muslim).
Dan yang lebih berbahaya lagi, jika seseorang meninggal dunia dan meninggalkan banyak utang, maka jiwanya akan tertahan sampai utangnya dilunasi:
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ “ نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
Artinya: “Dari Abu Hurairah RA Rasulullah SAW bersabda, “Jiwa seorang mukmin itu tertahan oleh sebab utangnya sampai hutangnya dilunasi.” (Musnad Ahmad).
Demikian pula dalam kehidupan bermasyarakat, status seseorang akan ditentukan baik buruknya di mata masyarakat atas penilaian bertanggungjawab atau tidaknya terhadap utang. Jika seseorang bertangungjawab terhadap utangnya, maka dia akan lebih dihargai dan dipercaya oleh masyarakat daripada orang yang mempunyai imej kurang baik terhadap pelunasan utang. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
فَإِنَّ مِنْ خِيَارِ النَّاسِ أَحْسَنَهُمْ قَضَاءً
Artinya: “Sesungguhnya orang yang paling baik diantara manusia adalah orang yang paling baik dalam membayar (utang),” (HR. Bukhari).
Kendati demikian, kita selaku hamba yang lemah diakui ataupun tidak, terkadang kita berada dalam titik nadir dengan kondisi ekonomi tertentu yang mengharuskan kita berutang untuk bertahan hidup. Di dalam Islam ada tata cara berutang diatur sedemikian rupa agar berutangnya kita bisa melahirkan pahala. Ada adab dan etika yang diajarkan oleh Rasulullah SAW bagaimana caranya berutang dan bagaimana caranya memberikan utang.
Pertama adab dan etika untuk yang mempunyai utang:
1. Sebelum berutang, niatkan dulu jika berutang karena ingin melunasi, bukan karena ingin mempermainkan orang yang memberikan utang. Niat ini penting karena akan menjadi penentu atau setidaknya sugesti agar utang kita kelak akan lunas atau justru malah akan terus bertambah utangnya. Hal ini disampaikan oleh Rasulullah SAW di dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari:
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللهُ
Artinya: “Barangsiapa yang mengambil harta-harta manusia (berutang) dengan niatan ingin melunasinya, Allah akan melunaskannya. Dan barangsiapa yang berutang dengan niat ingin merugikannya, Allah akan membinasakannya” (HR Imam Bukhari).
2. Membiaskaan diri menulis utang berupa perjanjian kesepakatan pelunasan dan membawa saksi pada saat berhutang. Tujuannya agar saat kita meninggal dunia, ada bukti dan ada saksi bahwa kita mempunyai hutang sehingga bisa dilunasi oleh ahli waris kita, karena maut datang tidak akan menunggu hutang kita lunas dulu. Maut bisa datang kapan saja sehingga saat hutang kita belum terbayar, maka ahli waris kita bisa segera membayarnya agar pahala kita kelak selamat pada saat hari perhitungan. Hal ini disebutkan di dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 282:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا ۚ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada utangnya.”
Walaupun sebagian ulama menafsirkan ayat ini sebagai Akad Salam, namun ada baiknya yang berutang juga menuliskan hutangnya.
3. Jika sudah mempunyai kesanggupan untuk melunasi, maka jangan sekali-kali ditangguhkan dengan berbagai alasan. Bayangkan saat kita meminjam, kita dalam kondisi sangat membutuhkan, dan orang tersebut rela menolong kita. Padahal bisa saja orang yang memberikan utang pada kita itu juga sama sedang sangat membutuhan, namun karena rasa kasihannya pada kita, dia rela meminjamkan. Maka alangkah kurang rasa malu kita ketika sudah sanggup untuk membayar, justru ditangguhkan atau dimundur-mundurkan. Telebih di dalam fiqh menunda-nunda membayar utang dalam kondisi mampu adalah haram. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ
Artinya: “Menunda-nunda membayar utang bagi orang yang mampu (membayar) adalah kezaliman,” (HR Bukhari).
Hadits ini disyarah oleh Syekh Badrudiin Al-‘Aini dalam ‘Umdatul Qari Syarah Shahih Imam Bukhari juz 18 halaman 325:
لأن المعنى أنه يحرم على الغني القادر أن يمطل بالدين بعد استحقاقه بخلاف العاجز
Artinya: “Makna hadits di atas bahwa haram bagi orang yang cukup secara finansial melakukan penundaan membayar utang setelah tetapnya utang tersebut, berbeda halnya dengan orang yang belum mampu (membayar),”
Juga Imam Yahya bin Syaraf An-Nawawi dalam Syarah An-Nawawi ‘alal Muslim juz 10 halaman 227:
فمطل الغنى ظلم وحرام ومطل غير الغنى ليس بظلم ولا حرام لمفهوم الحديث ولأنه معذور ولو كان غنيا ولكنه ليس متمكنا من الأداء لغيبة المال أو لغير ذلك جاز له التأخير إلى الامكان
Artinya: “Menunda membayar utang bagi orang yang mampu adalah perbuatan zalim dan merupakan tindakan yang diharamkan. Sedangkan menundanya orang yang tidak mampu tidaklah dianggap zalim dan bukan perbuatan haram, berdasarkan mafhum dari hadits. Sebab ia dalam keadaan uzur (untuk membayar). Jika seseorang dalam keadaan tercukupi (untuk membayar utang), tapi ia tidak mampu untuk membayarnya karena hartanya tidak berada di tempat atau karena faktor yang lain, maka boleh baginya untuk mengakhirkan membayar utang sampai ia mampu membayarnya,”
Bahkan jika orang yang memiliki utang sering menunggak pembayaran hutangnya padahal dia mampu, maka para ulama pun melabeli orang seperti itu dengan label Fasiq. Imam Maliki menyebutkan fasiq meskipun orang tersebut baru satu kali menunggak utangnya. Sementara Imam Syafii melabeli fasiq jika orang tersebut berulang-ulang menunggak utangnya dalam kondisi mampu. Sebagaimana disebutkan Imam Nawawi:
وقد اختلف أصحاب مالك وغيرهم في أن المماطل هل يفسق وترد شهادته بمطلة مرة واحدة أم لا ترد شهادته حتى يتكرر ذلك منه ويصير عادة ومقتضى مذهبنا اشتراط التكرار
Artinya: “Ulama mazhab Maliki berbeda pendapat mengenai orang yang menunda membayar utang apakah ia dihukumi fasik dan tertolak kesaksiannya (di majelis hakim) dengan melakukan satu kali penundaan membayar utang, atau kesaksiannya tidak tertolak kecuali ia sampai mengulangi perbuatan tersebut secara berulang-ulang dan menjadi kebiasaannya? Berdasarkan analisis dalam mazhab kita (mazhab Syafi’i) disyaratkan berulang-ulangnya penundaan membayar utang (dalam melabeli fasik pada orang yang menunda membayar utang),” (Syekh Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Syarah an-Nawawi ala Muslim, juz 10, hal. 227).
Lantas timbul pertanyaan “Bagaimana jika orang yang meminjamkan hutang itu meninggal dunia? Apakah utangnya tetap harus dilunasi dan ke siapa membayarnya?
Menurut Imam An Nawawi di dalam Majmu’ Syarah Muahadzab mengutip pendapat Al Imam Al Ghazali:
قَالَ الْغَزَالِيُّ إذَا كَانَ مَعَهُ مَالٌ حَرَامٌ وَأَرَادَ التَّوْبَةَ وَالْبَرَاءَةَ مِنْهُ فَإِنْ كَانَ لَهُ مَالِكٌ مُعَيَّنٌ وَجَبَ صَرْفُهُ إلَيْهِ أَوْ إلَى وَكِيلِهِ فَإِنْ كَانَ مَيِّتًا وَجَبَ دَفْعُهُ إلَى وَارِثِهِ وَإِنْ كَانَ لِمَالِكٍ لَا يَعْرِفُهُ وَيَئِسَ مِنْ مَعْرِفَتِهِ فَيَنْبَغِي أَنْ يَصْرِفَهُ فِي مَصَالِحِ الْمُسْلِمِينَ الْعَامَّةِ كَالْقَنَاطِرِ وَالرُّبُطِ وَالْمَسَاجِدِ وَمَصَالِحِ طَرِيقِ مَكَّةَ وَنَحْوِ ذَلِكَ مِمَّا يَشْتَرِكُ الْمُسْلِمُونَ فِيهِ وَإِلَّا فَيَتَصَدَّقُ بِهِ عَلَى فَقِيرٍ أَوْ فُقَرَاءَ
Artinya: “Al Ghazali menyebutkan, barangsiapa yang menyimpan harta haram dan ia hendak bertaubat dari perbuatannya serta hendak berlepas diri dari harta haram tersebut, hendaklah ia mencari si pemilik sah harta itu; apabila pemilik sah sudah meninggal, hendaknya harta itu diserahkan kepada ahli warisnya. Namun jika si pemilik sah dan ahli warisnya tidak diketahui juga, hendaknya harta tersebut disalurkan pada maslahat kaum Muslimin, seperti untuk membangun jembatan, masjid, menjaga perbatasan negara Islam, dan sektor lain yang bermanfaat untuk segenap kaum Muslimin. Atau boleh juga ia sumbangkan kepada fakir miskin.” (Nawawi, Majmu’ Syarh Muhazzab, 9:351).
Sedangkan menurut Syekh Nawawi Al Bantani dalam Hamisy Kifayatul Atqiya wa Minhajil Ash Fiya halaman 16:
فان مات المستحق سلمه الى الوارث فان لم يكن وانقطع خبره فالى قاض ثقة ترضى سيرته وديانته فان لم يكن فالى عالم متدين فان تعذر صرفه فى المصالح كالقناطر بنية الغرم له اذا وجده فان عجز عنه اوشق عليه لخوف او غيره تصدق على الاخواج فاللاحوج
Artinya: “Jika telah meninggal orang yang mustahik (pemberi utang), serahkanlah pembayarannya ke ahli waris pemberi utang. Maka jika tidak ada ahli warisnya dan terputus informasinya maka pembayaran utang diserahkan pada Qadhi yang terpercay, yang diridhai riwayat dan agamanya. Maka jika tidak ada Qadhi seperti itu, serahkan pembayarannya kepada orang ‘Alim yang taat menjalankan agamanya.maka jika tidak ada pula orang ‘Alim yang taat, maka pembayaran utang bisa digunakan untuk kepentingan umum seperti pembinaan, membuat jembatan, dengan niat tetap akan mengganti pembayaran utang apabila sudah ditemukan ahli waris pemberi utangnya.”
Sehingga bisa dipahami bahwa utang tetap harus diselesaikan meskipun pemberi utangnya telah meninggal dunia. Pelunasan bisa diserahkan kepada ahli warisnya. Jika tidak ada bisa kepada hakim yang terpercaya atau orang alim yang taat menjalankan agamanya. Jika tidak ada maka bisa digunakan untuk kepentingan umum dengan catatan tetap akan melunasinya jika ahli warisnya sudah ditemukan.
Demikian jawaban atas pertanyaan ke-15 ini, dan sementara untuk jawaban bagaimana adab dan etika pemberi utang, insya Allah akan kami sampaikan pada jawaban atas pertanyaan ke-16 berikutnya.
Wallahu’alam…
(Ust. Yudha H. Bhaskara, SHI/ Ketua DKM
dari berbagai sumber)