Apakah boleh melawan ibu yang sudah murtad?
Kajian NGOPI (Ngobrol Perkara Islam)
Jamaah dan DKM Masjid Jami Ad Da’wah Balandongan
————————————–
Pertanyaan ke-34
Jamaah Bertanya:
Assalamulaikum wr wb,
Pak ustadz bukankah surga ada di telapak kaki ibu, terus kalau ibunya murtad keluar dari islam apa seorang anak boleh melawan seorang ibu?
DKM Menjawab:
Waalaikumsalam wr wb,
Bismillahirrahmanirrahim…
Semoga kita semua dijadikan Allah hamba-hamba yang berbakti kepada kedua orang tua, dan semoga kita semua dikumpulkan Allah dalam surganya. Amin ya Rabbal’alamin.
Hadits terkait surga berada di bawah telapak kaki ibu ada dua jalur periwayatan. Jalur dari Musa bin Muhammad didhaifkan oleh Ibu ‘Adi dalam Kitab Al-Kāmil fi Dhu’afā’ir Rijāl sebagai berikut:
من طريق موسى بن محمد بن عطاء: حدثنا أبو المليح، حدثنا ميمون، عن ابن عباس رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم: «الْجَنَّةُ تَحْتَ أَقْدَامِ الأمَّهَات؛ مَن شِئن أدخلن، ومَنْ شِئن أخْرَجن-.
Artinya, “Dari jalur Musa bin Muhammad bin ‘Atha’, dari Abu al-Malih, dari Maimun, dari Ibn ‘Abbas RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, ‘Surga di bawah telapak kaki ibu. Siapa yang dikehendaki (diridhai) para ibu, mereka bisa memasukkannya (ke surga); siapa yang dikehendaki (tidak diridhai), mereka bisa mengeluarkannya (dari surga).”
Sementara hadits semakna dari jalur Mu’awiyah bin Jahimah dishahihkan oleh Imam Al Hakim dengan narasi hadits sebagai berikut:
عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ جَاهِمَةَ السَّلَمِيِّ ، أَنَّ جَاهِمَةَ رضي الله عنه جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَدْتُ أَنْ أَغْزُوَ وَقَدْ جِئْتُ أَسْتَشِيرُكَ . فَقَالَ : هَلْ لَكَ مِنْ أُمٍّ ؟ قَالَ نَعَمْ . قَالَ: فَالْزَمْهَا فَإِنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ رِجْلَيْهَا
Artinya, “Dari Mu’awiyah bin Jahimah As-Sulami, ia datang menemui Rasulullah SAW. Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, saya ingin ikut berperang dan saya sekarang memohon nasihat kepadamu?’ Rasulullah SAW lalu bersabda, ‘Kamu masih punya ibu?’ Mu’awiyah menjawab, ‘Ya, masih.’ Rasulullah SAW bersabda, ‘Berbaktilah kepada ibumu (lebih dahulu) karena sungguh ada surga di bawah kedua kakinya.’” (HR. Imam An-Nasa’i, Imam Ibnu Majah dan Imam Ahmad)
Kedua hadits dari dua jalur berbeda ini mempunyai makna yang sama yakni perintah berbakti pada ibu. Namun bagaimana jika ibunya murtad apakah harus tetap berbakti atau diperbolehkan melawan ibunya?
Yang pertama harus diperhatikan, status murtad ibunya, atau sebutlah orang tuanya, siapakah yang menentukan seseorang murtad? Karena di jaman sekarang orang sangat mudah memurtadkan orang lain hanya karena perbedaan manhaj atau amaliyah. Padahal belum tentu murtad, untuk itu diperlukan kehati-hatian menentukan seseorang murtad.
Murtad secara lughawi berasal dari kata irtadda yang artinya raja’a (kembali), sehingga apabila dikatakan irtadda ‘an diinihi maka artinya orang itu telah kafir setelah memeluk Islam (Mu’jamul Wasith, 1/338). Adapun perbuatannya disebut Riddah.
Dalam kitab Sullamut Taufiq, Syaikh Nawawi Al-Bantani membagi murtad dalam 3 kategori: Murtad I’tiqod (keyakinan dalam hati), Murtad Fi’liyah (perbuatan), dan Murtad Qauliyah (ucapan).
Secara singkat Murtad I’tiqadi semisal meyakini daging babi sebagai daging yang halal. Sedangkan Murtad Fi’liyah semisal sujud kepada berhala, dan Murtad Qauliyah semisal mencela Allah, mencela Al Quran atau mencela Rasulullah SAW. Bahkan menurut Syekh Nawawi Al Bantani, ketika seseorang menuduh orang lain kafir, justru ucapannya menjadikannya murtad. Jadi harus diteliti dahulu apa yang menyebabkan ibunya dihukumi murtad.
Jikapun ternyata memang benar murtadnya, maka Islam mengajarkan akhlak seorang anak terhadap ibunya harus tetap menjaga tata krama dan berbakti kepada ibunya. Apalagi dilarang melawan ibunya meskipun kondisinya murtad. Sebagaimana dikatakan oleh Syekh Nawawi Al Bantani dalam Syarah Maraqil Ubudiyyah:
وأما الوالدان الكافران فأدب الولد معهما مصاحبتهما في الأمور التى لا تتعلق بالدين ما دام حيا ومعاملتهما بالحلم والاحتمال وما تقتضيه مكارم الأخلاق والشيم
Artinya, “Dan apabila kedua orang tua kafir, maka tata krama anak terhadap keduanya adalah berbakti kepada mereka pada masalah-masalah yang tidak terkait dengan urusan agama selama mereka hidup, berinteraksi dengan keduanya dengan menjaga sopan santun dan ‘nerima’ apa yang sesuai dengan tuntutan akhlak dan perilaku yang mulia,” (Syekh Nawawi Banten, Syarah Maraqil Ubudiyyah, Daru Ihya’il Kutubuil Arabaiyyah, halaman 89).
Berbakti kepada ibu kandung ini sangat diperintahkan dalam Islam tanpa memandang apakah muslim atau non muslim, karena diakui ataupun tidak, ibulah yang telah mengandung kita dengan segala kesulitannya sebagaimana disebutkan dalam Al Quran surat Luqman berikut ini:
وَوَصَّيْنَا الْأِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفاً
Artinya, “Kami berwasiat kepada manusia terhadap kedua orang tuanya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan amat payah dan menyapihnya dalam waktu dua tahun agar ‘Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Ku tempat kembali. Jika keduanya memaksamu untuk menyekutukan-Ku, sesuatu yang kamu tidak ketahui, janganlah kamu patuhi keduanya, tetapi bergaullah dengan keduanya dengan baik,’” (Surat Luqman ayat 14-15).
Jadi tidak ada satupun litelatur dalam Islam yang memerintahkan melawan ibu yang dianggap murtad. Bahkan jika sanggup, selamatkan kembali ibunya dengan hidayah, bukan justru dilawan yang bertentangan dengan syariat Islam yang senantiasa memuliakan kedua orang tua tanpa membedakan agama.
Wallahu’Alam
(Ust. Yudha H. Bhaskara, SHI/ Ketua DKM Masjid Jami Ad Da’wah Balandongan Sukabumi dari berbagai sumber)