Apakah benar bergerak lebih dari tiga kali dalam shalat bisa membatalkan shalat?
Kajian NGOPI (Ngobrol Perkara Islam)
Jamaah dan DKM Masjid Jami Ad Da’wah Balandongan
————————————–
Pertanyaan ke-41
Jamaah Bertanya:
Assalamulaikum wr wb,
Apakah benar bergerak lebih dari tiga kali dalam shalat bisa membatalkan shalat?
DKM Menjawab:
Wa’alaikumusalam wr wb,
Bismillahirrahmanirrahim…
Semoga kita semua diberikan kemulyaan isgiqamah dalam menjaga shalat yang tumaninah serta dimasukan oleh Allah kedalam golongan orang-orang mukmin yang beruntung.
Para ulama berbeda pendapat menafsirkan gerakan yang membatalkan shalat. Sebagian ada yang menetapkan gerakan yang berturut-turut sebanyak tiga kali diluar gerakan shalat bisa membatalkan shalat. Sebagian ulama lainnya tidak mensyaratkan gerakannya harus tiga kali. Dan sebagian ulama malah menetapkan satu kali gerakan pun bisa membatalkan shalat. Untuk itu ada baiknya kita membuka sudut pandang dalam hal ini agar terhindar dari sifat saling menyalahkan.
Para ulama yang menafsirkan gerakan berturut-turut tiga kali di luar gerakan shalat membatalkan shalat diantaranya Syekh Nawawi Al Bantani salah seorang ulama madzhab Syafi’i sebagaimana disebutkan dalam kitab Kasyifatus Saja :
وسابعها ب(ثلاث حركات متواليات) أي يقينا بأعضاء متعددة كأن حرك رأسه ويديه وذهاب الرجل وعودها يعد مرتين مطلقا سواء حصل اتصال أم لا بخلاف ذهاب اليد وعودها على الاتصال فإنه يعد مرة واحدة وكذا رفعها ثم وضعها ولو في غير موضعها وأما رفع الرجل فإنه يعد مرة ووضعها ولو في غير موضعها مرة والفرق بين اليدين والرجل أن الرجل عادها السكوت بخلاف اليد
Artinya: “Tingkah laku ketujuh yang dapat merusak shalat adalah gerakan tiga kali secara berturut-turut dan yakin walaupun anggota badan yang bergerak itu berbeda-beda, misalnya kepala dan kedua tangan. Berpindahnya kaki ke tempat lain dan kembalinya ke tempat semula dihitung dua kali gerakan secara mutlak, artinya gerakan pindah pertama dan kedua itu bersambung ataupun tidak. Berbeda dengan gerak pindahnya tangan dan kembali ke tempat semula yang mana gerak pindah pertama dan kedua itu bersambung maka dihitung satu kali gerakan. Begitu juga, mengangkat tangan dan menurunkannya meskipun tidak sesuai pada tempat semula maka dihitung satu kali gerakan” (Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi al-Bantani, Kasyifatus -Saja Syrahu Safinatis Saja [Dar ibn Hazm: 2011], Cetakan I, hal. 143).
Sementara ulama lainnya seperti Syekh Zainudin Al-Malibari memberikan penjelasan tidak semua gerakan anggota tubuh yang melebihi tiga kali berturut-turur membatalkan shalat, hanya saja jika terlaku banyak bergerak di luar gerakan shalat hukumnya makruh. Anggota tubuh yang dikecualikan itu adalah jari jemari, pelupuk mata, bibir, dzakar dan lisan, sebagaimana disebutkan dalam kitab Fathul Mu’in:
لاتبطل بحركات خفيفة وإن كثرت وتوالت بل تكره ، كتحريك أصبع أو أصابع في حك أو سبحة مع قرار كفه أو جفن أو شفة أو ذكر أو لسان لأنها تابعة لمحالها المستقرة كالأصابع
Artinya: “Tidak batal shalat akibat gerakan-gerakan ringan meskipun banyak dan berulang-ulang, tetapi hal itu hukumnya makruh seperti gerakan jari saat menggaruk dengan syarat telapak tangannya tetap (tidak ikut bergerak) atau gerakan pelupuk mata, bibir, zakar atau lisan (lidah) karena kesemua itu masih menempel pada tempat pokoknya yang diam dan kokoh seperti halnya jari-jemari” (Syekh Zainuddin Bin Abdul Aziz al-Ma’bari Al-Malibari Al-Fannani, Fath al-Mu’in bi syarh Qurrat al-‘Aini bi Hummat al-Din [Dar ibn Hazm: 2004] Cetakan I, hal. 143-144).
Jadi usahakan ketika menggaruk yang memang tidak bisa ditahan dan akan menimbulkan banyak gerakan, cukup dengan jari saja yang bergerak sementara tangan tetap dalam posisinya agar shalat tidak batal.
Imam Nawawi juga menjelaskan gerakan yang membatalkan shalat adalah gerakan yang dilakukan secara berturut-turut. Agar shalat kita tidak batal, maka setiap gerakan ada baiknya diberikan jeda sekira satu rakaat sebagaimana disebutkan Imam Nawawi dalam
dalam Raudhatu-t-thalibin wa umdatu-l-muftiin:
ثُمَّ أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الْكَثِيرَ إِنَّمَا يُبْطِلُ إِذَا تَوَالَى. فَإِنْ تَفَرَّقَ بِأَنْ خَطَا خُطْوَةً، ثُمَّ بَعْدَ زَمَنٍ خَطَا أُخْرَى، أَوْ خُطْوَتَيْنِ ثُمَّ خُطْوَتَيْنِ بَيْنَهُمَا زَمَنٌ، وَقُلْنَا: إِنَّهُمَا قَلِيلٌ، وَتَكَرَّرَ ذَلِكَ مَرَّاتٍ فَهِيَ كَثِيرَةٌ، لَمْ يَضُرَّ قَطْعًا. وَحَدُّ التَّفْرِيقِ: أَنْ يُعَدَّ الثَّانِي مُنْقَطِعًا عَنِ الْأَوَّلِ. وَقَالَ فِي (التَّهْذِيبِ) : عِنْدِي أَنْ يَكُونَ بَيْنَهُمَا قَدْرُ رَكْعَةٍ. ثُمَّ الْمُرَادُ بِالْفِعْلَةِ الْوَاحِدَةِ الَّتِي لَا تُبْطِلُ، مَا لَمْ يَتَفَاحَشْ، فَإِنْ أَفْرَطَتْ كَالْوَثْبَةِ الْفَاحِشَةِ أَبْطَلَتْ قَطْعًا. وَكَذَا قَوْلُهُمْ: الثَّلَاثُ الْمُتَوَالِيَةُ تُبْطِلُ. أَرَادَ: وَالْخُطُوَاتُ وَنَحْوُهَا. فَأَمَّا الْحَرَكَاتُ الْخَفِيفَةُ، كَتَحْرِيكِ الْأَصَابِعِ فِي سُبْحَةٍ، أَوْ حَكَّةٍ، فَالْأَصَحُّ: أَنَّهَا لَا تَضُرُّ وَإِنْ كَثُرَتْ مُتَوَالِيَةً
Artinya : “Kemudian secara Ijma (Syafi’iyah) disebutkan bahwa gerakan yang banyak dapat membatalkan shalat apabila dilakukan secara berturut-turut. Namun apabila berjarak seperti jika melangkah kemudian dalam durasi tertentu melangkah lagi, atau tiap dua langkah ada jeda, maka pendapat kami: hal tersebut adalah gerak yang sedikit. Dan apabila berulang-ulang hingga banyak, tidak berpengaruh sama sekali. Dan batasan pembedanya: adalah diulangnya gerakan kedua setelah jeda dari gerakan pertama. Dikatakan dalam kitab tahdzib: menurutku jeda antara dua gerakan adalah seperti satu rakaat. Kemudian yang dimaksud dengan satu gerakan yang tak membatalkan adalah yang tidak keterlaluan, seperti melompat yang keterlaluan maka membatalkan secara mutlak. Demikian juga dikatakan: tiga gerakan yang berturut-turut dapat membatalkan shalat. Dimaksudkan di sini seperti: melangkah dan sejenisnya. Sedangkan gerakan ringan seperti menggerakan jari dalam tasbih, menggaruk, maka yang benar adalah: hal tersebut tidak berpengaruh (tidak membatalkan) meskipun banyak dan berturut-turut”. [Imam Nawawi dalam Raudhatu-t-thalibin wa umdatu-l-muftiin. 1/294.]
وحد التفريق أن يعد الثاني منقطعا عن الأول وقال في التهذيب عندي أن يكون بينهما قدر ركعة
Artinya : “Batasan suatu gerakan dianggap terpisah adalah saat gerakan kedua dianggap terputus dari gerakan pertama. Imam al-Baghawi berkata dalam kitab at-Tahdzib, ‘Menurutku (dua gerakan dianggap terputus itu) sekiranya di antara kedua gerakan berjarak sekitar satu rakaat.” (Syekh Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Raudhah at-Thalibien wa ‘Umdah al-Muftin, juz 1, hal. 108)
Untuk memudahkan bagaimana menghitung satu gerakan, Syekh Zainuddin al-Maliabari memberikan contoh hitungan satu gerakan anggota tubuh dalam Fathul Mu’in:
وإمرار اليد وردها على التوالي بالحك مرة واحدة، وكذا رفعها عن صدره ووضعها على موضع الحك مرة واحدة
أي إن اتصل أحدهما بالآخر، وإلا فكل مرة، على ما استظهره شيخنا.
Artinya : “Menggerakkan tangan dan mengembalikannya secara beriringan dihitung satu hitungan, begitu juga mengangkat tangan dari dada dan meletakkan tangan di tempat menggaruk dihitung satu hitungan jika dilaksanakan secara langsung (ittishal), jika tidak langsung maka setiap jeda dihitung satu kali hitungan. Ketentuan ini berdasarkan penjelasan yang dijelaskan oleh guruku (Imam Ibnu Hajar).” (Syekh Zainuddin al-Maliabari, Fath al-Mu’in, juz 1, hal. 251)
Sementara untuk gerakan refleks ataupun kelainan saraf menurut Syekh Zainuddin Al Malibari termasuk gerakan hang dimaafkan sebagaimana disebutkan dalam karyanya:
وخرج بالأصابع الكف، فتحريكها ثلاثا ولاء مبطل، إلا أن يكون به جرب لا يصبر معه عادة على عدم الحك فلا تبطل للضرورة.
قال شيخنا: ويؤخذ منه أن من ابتلي بحركة اضطرارية ينشأ عنها عمل كثير سومح فيه.
Artinya : “Dikecualikan dengan perkataan ‘jari-jari’ yakni telapak tangan, maka menggerakkan telapak tangan tiga kali secara beriringan dapat membatalkan shalat, kecuali ketika seseorang merasa gatal-gatal yang tidak sabar secara adat untuk tidak menggaruknya, maka dalam keadaan demikian (menggerak-gerakkan telapak tangan) tidak membatalkan shalat karena dianggap darurat. Guruku (Ibnu Hajar al-Haitami) berkata: ‘Berdasarkan hal tersebut maka orang yang diberi cobaan berupa gerakan refleks (idtirari) yang memunculkan perbuatan yang banyak maka dianggap sebagai hal yang dimaafkan.” (Syekh Zainuddin al-Maliabari, Fath al-Mu’in, juz 1, hal. 251)
Sementara ulama kalangan Syafiiyah lainnya ada juga yang berpendapat bahwa banyak sedikitnya gerakan diluar shalat tidak terbatas pada jumlah tiga kali berurutan. Melainkan dikembalikan pada Urf atau adat kebiasaan setempat. Sebagaimana disebutkan Imam Juwaini dalam Nihayatul Mathlab fi dirayatil madzhab:
فإن قيل: هل من ضبطٍ في الفرق بين العمل القليل والكثير؟ قلنا: لا شك أن الرجوع في ذلك إلى العرف وأهله، ولا مطمع في ضبط ذلك على التقدير والتحديد؛ فإنه تقريب، وطلب التحديد في منزلة التقريب مُحال
Artinya : “Apabila dikatakan: apakah ada ketentuan tentang perbedaan antara gerakan yang banyak dan sedikit? Kami berpendapat: tidak diragukan bahwa hal tersebut dikembalikan kepada urf (kebiasaan) dan sekitarnya, dan tidak ada kepastian tentang ketentuan batasan dan kadar hal tersebut , dan sesungguhnya gerakan di luar shalat bersifat asumtif, sementara menentukan batasan pada perkara yang asumtif adalah tidak mungkin.” (Imam Juwaini (imamul Haramain). Nihayatul Mathlab fi dirayatil madzhab. 2/206)
Dan yang terakhir, gerakan di luar gerakan shalat yang dilakukan pada saat shalat sebenarnya tidak mesti harus menunggu tiga kali berurutan kemudian shalatnya dinilai batal. Bahkan satu kali gerakan saja bisa langsung batal jika dilakukan sengaja untuk main-main dalam shalat sebagaimana dikatakan Syekh Nawawi Al Bantani:
اما الحركة القليلة، كحرتين، فلا تبطل الصلاة بها، سواء كان عمدا او سهوا، مالم يقصد بها اللعب، فإن قصد بها ذالك، كأن قام أُصبعَه الوسطى في صلاته لشخص لاعبا معه بطلت صلاته
Artinya: “Adapun gerakan sedikit saja, seperti dua gerakan, maka tidak menjadikan shalat batal baik dilakukan secara sengaja atau karena lupa, dengan catatatan tidak ada tujuan bermain-main. Apabila seseorang sengaja menggerakkan anggota badannya dengan tujuan main-main, misalnya mengacungkan jari tengahnya di dalam shalatnya kepada orang lain dengan maksud main-main atau bercanda maka shalatnya batal. (lihat Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi al-Bantani, Kasyifatus -Saja Syrahu Safinatis Saja [ Dar ibn Hazm: 2011], Cetakan I, hal. 311).
Wallahu’Alam
(Ust. Yudha H. Bhaskara, SHI/ Ketua DKM Masjid Jami Ad Da’wah Balandongan Sukabumi dari berbagai sumber)