Apakah boleh bersikap sombong terhadap orang yang sombong?
Kajian NGOPI (Ngobrol Perkara Islam)
Jamaah dan DKM Masjid Jami Ad Da’wah Balandongan
————————————–
Pertanyaan ke-31
Jamaah Bertanya:
Assalamulaikum wr wb,
Apakah boleh bersikap sombong terhadap orang yang sombong? Karena terkadang dalam kehidupan, jika menghadapi orang angkuh dengan tawadhu, justru keangkuhannya semakin menjadi.
DKM Menjawab:
Waalaikumsalam wr wb,
Bismillahirrahmanirrahim…
Semoga kita semua selalu diberi kerendahan hati kepada Allah SWT dan diberikan kesabaran dalam menghadapi segala ujian di dunia ini, termasuk ujian menghadapi berbagai macam karakter manusia dalam kehidupan nyata ini. Amin ya Rabbal’alamin.
Dalam kehidupan nyata, kita memang akan dihadapkan pada situasi dan kondisi tertentu. Terkadang kondisi menuntut kita harus sabar, namun dalam satu kondisi kitapun dituntut untuk menjaga kehormatan dan harga diri, terutama kehormatan Dienul Islam.
Adakalanya dalam kehidupan nyata, kita menghadapi karakter manusia yang penuh adab sopan santun dan rendah hati, maka sudah semestinya kita pun berlaku demikian, bahkan harus lebih sopan santun dan rendah hati dari yang bersangkutan. Tapi kadang pula kita bertemu dengan karakter manusia yang angkuh, sombong, selalu merasa diri paling benar atau merasa diri paling kaya, maka sikap seperti apa yang seharusnya kita lakukan?
Di dalam Al Quran sebenarnya dijelaskan terkait kewajiban membela kehormatan dan harga diri, terutama jika kehormatan dan harga diri Islam terancam. Namun sebelum menjelaskan sikap kita pada orang yang “sombong” ada baiknya kita definisikan dulu apa yang dimaksud dengan sombong.
Abu Sa’id Al-Khadimi menjelaskan definisi sombong:
الْكِبْرُ هُوَ الِاسْتِرْوَاحُ) طَلَبُ الرَّاحَةِ (وَالرُّكُونُ) الْمَيْلُ (إلَى رُؤْيَةِ النَّفْسِ فَوْقَ الْمُتَكَبَّرِ عَلَيْهِ) فِي صِفَاتِهَا الْكَمَالِيَّةِ فَيَحْصُلُ مِنْ رُؤْيَتِهَا فَوْقَهُ فِي قَلْبِهِ اعْتِدَادٌ وَفَرَحٌ وَهُوَ الْكِبْرُ
Artinya, “Sombong adalah satu kondisi saat seseorang merasa senang dan nyaman melihat dirinya di atas orang lain (mutakabbar ‘alaih) terkait kelebihan yang diberi Allah sehingga dengan mengetahui orang lain di bawahnya, dalam hatinya muncul keangkuhan dan bangga, dan itulah sombong.” (Bariqah Mahmudiyyah fi Syarhi Thariqah Muhammadiyah wa Syari’ah Nabawiyyah fi Sirah Ahmadiyah (juz II, halaman 185)
Sombong sejatinya sifat yang sangat tercela, karena tanpa sadar dia sedang memposisikan dirinya sebagai Tuhan sehingga haram orang sombong masuk surga. Kita sebagai makhluk tak layak mempunyai sifat sombong, karena hanya Allah subhanahu wa ta’ala yang layak memiliki sifat tersebut. Kita selaku manusia yang dipenuhi dengan segala keterbatasan dan kelemahan justru diperintahkan Allah agar tidak sombong:
وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًاۚ اِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْاَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُوْلًا * كُلُّ ذٰلِكَ كَانَ سَيِّئُهٗ عِنْدَ رَبِّكَ مَكْرُوْهًا
Artinya, “Janganlah kau berjalan di bumi ini dengan sombong karena sungguh engkau tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mampu menjulang lebih tinggi dari gunung. Semua itu kejahatannya sangat dibenci di sisi Tuhanmu.” (Surat Al-Isra’ ayat 37-38).
Namun dalam kondisi tertentu, kesombongan yang ditujukan “khusus” untuk orang sombong bisa berubah menjadi terpuji. Dengan catatan hati kita tetap merendah pada Allah dengan segala kerendahan hati, karena sejatinya kita tak patut berlaku sombong, namun kita niatkan semata untuk dakwah. Kondisi khusus tersebut misalkan ketika berdakwah ingin menyadarkan seseorang yang angkuh dan sombong, maka metode dakwah harus bisa disesuaikan dengan situasi dan kondisi.
Hal ini sering dihadapi oleh para Dai termasuk DKM sendiri. Ketika menghadapi orang sombong dengan ketawadhuan, justru seorang Dai yang menjadi ujung tombak agama, akan dilecehkan. Termasuk ajaran agama yang disampaikannya akan ikut dihinakan. Pernah ketika menghadapi orang kaya yang sombong, dakwah kita dimentahkan. Apapun yang kita ucapkan tidak didengar, karena orang kaya tersebut merasa dirinya lebih dekat dengan Allah atas segala karunia kekayaan yang diberikan kepadanya.
Tapi ketika Dai nya datang dengan tampilan sesuai dengan tingkat ekonomi orang kaya sombong tersebut, bahkan lebih kaya dari orang kaya yang sombong tadi, maka apapun yang disampaikan Dai akan didengarkan oleh orang kaya sombong itu,karena Dai ini (versi orang kaya sombong) dianggap lebih dekat dengan Allah atas karunia kekayaan yang melebihi orang kaya sombong tadi.
Dan cara seperti ini dibenarkan oleh Imam Abu Hanifah, justru menurut Imam Abu Hanifah, kesombongan yang dihadapi dengan ketawadhuan, akan melahirkan kedzaliman yang nyata:
أَظْلَمُ الظَّالِمِينَ مَنْ تَوَاضَعَ لِمَنْ لَا يَلْتَفِتُ إلَيْهِ وَقِيلَ قَدْ يَكُونُ التَّكَبُّرُ لِتَنْبِيهِ الْمُتَكَبِّرِ لَا لِرِفْعَةِ النَّفْسِ فَيَكُونُ مَحْمُودًا كَالتَّكَبُّرِ عَلَى الْجُهَلَاءِ وَالْأَغْنِيَاءِ
Artinya, “Orang yang paling zalim adalah mereka yang tawadhu (merendah) kepada orang yang berpaling (takabur) darinya. Dan sebagian pendapat bersikap sombong untuk mengingatkan orang yang sombong. Termasuk perbuatan terpuji. Seperti bersikap sombong di hadapan orang-orang bodoh yang keras kepala dan para hartawan kaya raya yang membusungkan dada.” (Bariqah Mahmudiyyah [juz II, hal. 186])
Demikian pula Syaikh Abdullah Al Faqih mengatakan :
التكبر على المتكبر صدقة، لأنه إذا تواضعت له تمادى في ضلاله وإذا تكبرت عليه تنبه، ومن هنا قال الشافعي تكبر على المتكبر مرتين، وقال الزهري التجبر على أبناء الدنيا أوثق عرى الإسلام، وعن أبي حنيفة رحمه الله تعالى أظلم الظالمين من تواضع لمن لا يلتفت إليه، وقيل قد يكون التكبر لتنبيه المتكبر لا لرفعة النفس فيكون محموداً كالتكبر على الجهلاء والأغنياء، قال يحيى بن معاذ: التكبر على من تكبر عليك بماله تواضع.
Artinya: “Bersikap sombong kepada orang sombong adalah sedekah, sebab jika kita bersikap tawadhu di hadapan orang sombong maka itu akan menyebabkan dia terus-menerus berada dalam kesesatan. Namun, jika kita bersikap sombong kepadanya maka dia akan sadar. Ini sesuai dengan nasihat Imam Syafi’i, ‘Bersikap sombonglah kepada orang sombong sebanyak dua kali.’ Imam Az-Zuhri mengatakan, ‘Bersikap sombong kepada pecinta dunia adalah bagian dari ikatan Islam yang kokoh.’ Imam Yahya bin Mu’adz mengatakan, ‘Bersikap sombong kepada orang yang sombong kepadamu, dengan hartanya, adalah termasuk bentuk ketawadhuan.’ (Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 73436)
Ada tiga yang harus kita jaga dalam kehidupan ini, yaitu, nyawa, kehormatan dan harta. Dan jika menghadapi orang sombong kehormatan kita dan kehormatan agama akan dihancurkan, maka harus dipertahankan. Sebagaimana dalam Al Quran disebutkan:
فَمَنِ ٱعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ فَٱعْتَدُوا۟ عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا ٱعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ ۚ
Artinya; “Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.” (QS. Al Baqarah:194)
Menurut Dr. Wahbah Zuhaili dalam kitab al Fiqhu Islami wa adillatuhu, jilid VI, bahwa membela diri dan menjaga kehormatannya dari kejahatan manusia dan binatang adalah wajib hukumnya. Ulama dari mazhab Imam Abu Hanifah, ulama Malikiyyah dan ulama Syafi’iyyah pun mewajibkan seseorang untuk melakukan pembelaan diri.
Demikian pula para sahabat, ketika Hijrah ke madinah misalkan, saat kaum Quraisy Jahiliyah dengan kesombongannya mengancam akan membunuh siapapun yang hijrah, kesombongan kafir Qufaiys ini seketika luntur setelah dibalas Sayidina Umar bin Khattab RA dengan berteriak di depan Ka’bah seraya menghunus pedangnya menantang siapa saja yang berani menghalanginya hijrah maka akan putus kepalanya.
Memang adakalanya dakwah itu harus fleksibel, namun adakalanya harus tegas. Jika berdakwah pada orang berilmu, maka persiapkan ilmu. Jika berdakwah pada jawara, maka siapkan ilmu bela diri. Jika berdakwah pada orang kaya yang sombong, jika kita datang dengan pakaian lusuh dan kondisi ekonomi lemah, sebelum menyampaikan dakwah pun kita akan disangka tukang minta sumbangan. Untuk itulah para Dai harus kuat ekonominya untuk berdakwah menghadapi orang-orang kaya sombong seperti ini.
Wallahu’Alam…
Wassalamu alaikum wr wb
(Ust. Yudha H. Bhaskara, SHI, Ketua DKM Masjid Jami Ad Da’wah Balandongan Sukabumi dari berbagai sumber)