Bagaimana cara membedakan haidh, nifas dan istihadhah?
Kajian NGOPI (Ngobrol Perkara Islam)
Jamaah Bersama Ketua DKM Masjid Jami Ad Da’wah Balandongan Sukabumi
———————————–
Pertanyaan ke-32
Jamaah Bertanya:
Assalamulaikum wr wb,
Bagaimana cara membedakan haidh, nifas dan istihadhah? Dan ibadah apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh wanita yang sedang haidh, nifas dan istihadhah? Dan bagaimana cara ibadahnya?
DKM Menjawab:
Waalaikumsalam wr wb,
Bismillahirrahmanirrahim…
Semoga Allah senantiasa membukakan pintu hidayah dan keistiqomahan dalam thalab ilmu. Baik thalab ilmu dengan cara mendatangi majelis ilmu ataupun menggunakan sisa hidup kita untuk terus berbagi ilmu dengan berbagai media dan cara. Dan semoga apa yang kita lakukan ini bisa menjadi amal jariyah usai kita tiada. Amin ya Rabbal’alamin.
Darah haidh, nifas dan istihadhah bisa dibedakan dengan definisi, warna dan waktunya. Ini sangat penting diketahui karena akan menentukan ibadah mana yang harus dilakukan dan yang harus ditinggalkan oleh wanita yang mengalami haidh, nifas atau istihadhah.
Syekh Abu Syuja’ menyebutkan dalam matan Taqrib:
فالحيض هو الدم الخارج من فرج المرأة على سبيل الصحة من غير سبب الولادة
Artinya: “Haidh adalah darah yang keluar dari kemaluan perempuan, dalam kondisi sehat, bukan disebabkan melahirkan”
Masa haidh minimal 24 jam, maksimal 15 hari dan biasanya 7 hari. Haidh terjadi karena adanya kerja hormon dalam tubuh, yakni hormon estrogen dan progesteron, berkaitan dengan produksi sel telur. Dan ini adalah mekanisme normal kewanitaan yang akan berakhir pada masa menopause saat fase produksi sel telur (ovum) oleh organ ovarium berhenti.
Sedangkan darah nifas, adalah darah yang keluar usai masa melahirkan. Biasanya antara 40 hari atau maksimal 60 hari. Untuk masa keluar dua darah ini wanita diberikan keringanan oleh Allah SWT dan dilarang melakukan 8 hal ini sebagaimana disebutkan Syekh Abu Syuja’:
ويحرم بالحيض والنفاس ثمانية أشياء: الصلاة والصوم وقراءة القرآن ومس المصحف وحمله ودخول المسجد والطواف والوطء والاستمتاع بما بين السرة والركبة.
Artinya: “Diharamkan bagi wanita haidh dan nifas melakukan 8 hal: Shalat, puasa, membaca Al Quran, menyentuh Mushhaf, membawa Al Quran, masuk masjid, thawaf, bersetubuh, dan istimna’ (berwenang-senang) diantara pusar dan lutut.”
Berbeda dengan wanita yang mengalami haidh dan nifas, wanita yang mengalami istihadhah justru tetap dikenakan kewajiban shalat dan ibadah lainnya, karena istihadhah adalah:
والاستحاضة هو الدم الخارج في غير أيام الحيض والنفاس
Artinya, “Darah istihadlah adalah darah yang keluar di luar masa rutin haid, serta bukan disebabkan setelah melahirkan.”
Wanita yang mengeluarkan darah istihadlah ini tetap memiliki kewajiban untuk berpuasa, shalat, dan berwudhu ketika hendak shalat, thawaf, atau memegang mushaf, karena berstatus sebagaimana orang berhadats kecil (beser).
Misalkan ketika haidh sudah melebihi 15 hari yang menjadi waktu maksimal haidh, atau tidak sampai 24 jam, maka darah yang keluar masuk kategori darah istihadhah dan tetap dikenakan kewajiban shalat. Lantas bagaimana cara mengukurnya?
Untuk menjadi patokan apakah seorang wanita masih haidh atau masuk istihadhah Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami memberikan penjelasan dalam kitab Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj :
أَنَّ الْأَقَلَّ لَهُ صُورَتَانِ الْأُولَى أَنْ يَكُونَ وَحْدَهُ وَهِيَ الَّتِي يُشْتَرَطُ فِيهَا الِاتِّصَالُ وَالثَّانِيَةُ أَنْ يَكُونَ مَعَ غَيْرِهِ، وَهَذِهِ لَا اتِّصَالَ فِيهَا
Artinya, “Sesungguhnya haid paling singkat memiliki dua bentuk. Pertama, keberadaan haid hanya satu hari saja, di mana ketersambungan disyaratkan di dalamnya. Kedua, keberadaan haid bersama hari lain, di sini harus tidak ada ketersambungan,” (Lihat Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, jilid I, halaman 385).
وَأَمَّا الْأَقَلُّ الَّذِي مَعَ غَيْرِهِ فَلَيْسَ فِيهِ اتِّصَالٌ بَلْ يَتَخَلَّلُهُ نَقَاءٌ بِأَنْ تَرَى دَمًا وَقْتًا وَوَقْتًا نَقَاءً فَهُوَ حَيْضٌ تَبَعًا لَهُ بِشَرْطِ أَنْ لَا يُجَاوِزَ ذَلِكَ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا وَلَمْ يَنْقُصْ الدَّمُ عَنْ أَقَلِّ الْحَيْضِ
Artinya, “Adapun minimal haid yang disertai dengan hari lain maka tidak ada ketersambungan di dalamnya. Justru haid akan terselang oleh waktu bersih. Misalnya, si perempuan melihat darah pada satu waktu dan melihat bersih pada waktu lain, maka waktu bersih itu pun juga dianggap haid karena turut kepada haid, dengan syarat kejadian itu tidak lebih dari 15 hari dan tidak kurang dari haid minimal (24 jam). (Al-Haitami, I/389).
Menurut pendapat Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami jika haidhnya terputus-putus kurang dari satu hari maka bukan disebut haidh melainkan istihadhah, sementara jika terputus-putus, kadang keluar darah kadang tidak, tapi waktunya lebih dari satu hari dan maksimal 15 hari maka termasuk haidh.
Terkait masalah ini di kalangan Syafi’iyah ada dua pendapat yakni qaulus sahb dan qaulul laqth:
وَذَهَبَ الشَّافِعِيَّةُ إِلَى أَنَّهُ إِذَا عَادَ الدَّمُ بَعْدَ النَّقَاءِ، فَالْكُل حَيْضٌ – الدَّمُ وَالنَّقَاءُ – بِشُرُوطٍ: وَهِيَ أَنْ لاَ يُجَاوِزَ ذَلِكَ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا، وَلَمْ تَنْقُصِ الدِّمَاءُ مِنْ أَقَل الْحَيْضِ، وَأَنْ يَكُونَ النَّقَاءُ مُحْتَوَشًا بَيْنَ دَمَيِ الْحَيْضِ. وَهَذَا الْقَوْل يُسَمَّى عِنْدَهُمْ قَوْل السَّحْبِ وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ. وَالْقَوْل الثَّانِي عِنْدَهُمْ هُوَ أَنَّ النَّقَاءَ طُهْرٌ، لأِنَّ الدَّمَ إِذَا دَل عَلَى الْحَيْضِ وَجَبَ أَنْ يَدُل النَّقَاءُ عَلَى الطُّهْرِ وَيُسَمَّى هَذَا الْقَوْل قَوْل اللَّقْطِ (وزارة الأوقاف والشؤن الإسلامية كويت، الموسوعة الفقهية الكويتية، كويت-دار السلاسل، الطبعة الثالثة، ج، 18، ص. 305)
Artinya: “Ulama dari kalangan madzhab Syafii berpendapat bahwa ketika darah itu kembali setelah bersih (mampet) maka darah keseluruhan darah— yaitu darah yang keluar dan ketika berhenti—dihukumi haid dengan syarat darah yang keluar (dari yang pertama sampai habisnya masa yang kedua) tidak melebihi lima belas hari, tidak kurang dari batas minimal haid (24 jam), dan mampetnya meliputi di antara dua haid. Mereka menamai pendapat ini dengan qaul sahb. Dan inilah yang mu’tamad menurut mereka. Pendapat kedua menurut kalangan madzhab syafii adalah bahwa pada saat berhenti (mampet) dihukumi suci. Sebab, ketika keluarnya darah itu menunjukkan haid maka ketika berhenti menunjukkan suci. Pendapat ini disebut qaul laqth”. (Wizarah al-Awqaf wa asy-Syu`un al-Islamiyyah Kuwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Dar as-Salasil, cet ke-3,juz, 18, h. 305)
Jadi yang menjadi patokan adalah jumlah harinya maksimal 15 hari maka masuk pendapat haidh. Namun jika lebih dari 15 hari maka masuk pendapat istihadhah. Wanita yang mengalami istihadhah disebut mustahadhah yang dihukumi suci dan terkena kewajiban shalat, puasa dan ibadah lain yang dilarang untuk wanita haidh karena disamakan dengan penyakit layaknya beser.
Lantas bagaimana cara shalat wanita mustahadhah? Imam Nawawi menjelaskan dalam kitab Minhajuth Thalibin:
وَالِاسْتِحَاضَةُ حَدَثٌ دَائِمٌ كَسَلَسٍ فَلَا تَمْنَعُ الصَّوْمَ وَالصَّلَاةَ، فَتَغْسِلُ الْمُسْتَحَاضَةُ فَرْجَهَا وَتَعْصِبُهُ، وَتَتَوَضَّأُ وَقْتَ الصَّلَاةِ، وَتُبَادِرُ بِهَا فَلَوْ أَخَّرَتْ لِمَصْلَحَةِ الصَّلَاةِ كَسَتْرٍ وَانْتِظَارِ جَمَاعَةٍ لَمْ يَضُرَّ، وَإِلَّا فَيَضُرُّ عَلَى الصَّحِيحِ. وَيَجِبُ الْوُضُوءُ لِكُلِّ فَرْضٍ، وَكَذَا تَجْدِيدُ الْعِصَابَةِ فِي الْأَصَحِّ
Artinya: “Istihadhah adalah hadats yang permanen seperti orang beser, maka ia tidak mencegah puasa dan shalat. Maka mustahadhah (diwajibkan) membasuh kemaluannya dan membalutnya. Ia (wajib) berwudhu pada waktu shalat, ia (wajib) segera melaksanakan shalat. Bila mengakhirkannya karena kemaslahatan shalat, seperti menutup (aurat), menanti jamaah, maka tidak bermasalah. Bila bukan karena demikian, maka bermasalah menurut pendapat al-shahih. Wajib berwudhu untuk setiap shalat fardlu, demikian pula memperbarui balutan menurut pendapat al-Ashah,” (al-Imam al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin, juz 1, hal. 19).
Cara shalat wanita mustahadhah berbeda dengan cara shalat wanita normal pada umumnya. Khusus wanita mustahadhah setiap hendak shalat, wajib membasuh bagian kewanitaannya dan menyumbatnya dengan semisal kapas atau jenis pembalut wanita lain yang dapat menghentikan darah atau setidaknya mengurangi.
Saat berwudhu niatnya memperbolehkan shalat, tidak dengan niat menghilangkan hadats. Wudhu harus dilakukan setelah masuk waktu shalat, tidak sah sebelum masuk waktu. Setelah berwudhu ia diwajibkan untuk langsung melaksanakan shalat, tidak boleh diselingi dengan aktivitas lainnya, kecuali hal-hal yang berhubungan dengan kemaslahatan shalat seperti menanti jamaah, menutup aurat dan lain sebagainya. Setiap kali shalat fardhu, ia berkewajiban mengulangi wudhu dan mengganti pembalutnya.
Sementara untuk wanita mustahadhah yang puasa, Syekh Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan:
وَإِنْ كَانَتْ صَائِمَةً تَرَكَتْ الْحَشْوَ نَهَارًا وَاقْتَصَرَتْ عَلَى الْعَصْبِ مُحَافَظَةً عَلَى الصَّوْمِ لَا الصَّلَاةِ عَكْسُ مَا قَالُوهُ فِيمَنْ ابْتَلَعَ خَيْطًا؛ لِأَنَّ الِاسْتِحَاضَةَ عِلَّةٌ مُزْمِنَةٌ الظَّاهِرُ دَوَامُهَا فَلَوْ رُوعِيَتْ الصَّلَاةُ رُبَّمَا تَعَذَّرَ قَضَاءُ الصَّوْمِ وَلَا كَذَلِكَ ثَمَّ
Artinya: “Bila ia berpuasa, maka (wajib) meninggalkan penyumbatan (kemaluan) di siang hari, yakni cukup mengikatnya. Hal ini demi menjaga puasa (agar tidak batal), bukan (kemaslahatan) shalat, berkebalikan dengan apa yang diucapkan ulama dalam kasus orang yang menelan benang. Sebab istihadhah adalah penyakit yang permanen, secara lahiriyyah akan terus ada, bila (kemaslahatan) shalat dijaga, terkadang sulit mengqadha puasa. Alasan demikian ini tidak ada dalam kasus menelan benang,” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj Hamisy Hasyiyah al-Syarwani, juz 1, hal. 393).
Adapun warna darah haidh terbagi beberapa warna diantaranya: Hitam (warna yang paling kuat), merah, abu-abu (antara merah dan kuning), kuning, dan keruh (antara kuning dan keruh). Jika cairan yang keluar dari kemaluan tidak termasuk salah satu warna tersebut, maka bukanlah darah haid, tetapi istihadhah yang dihukumi sama dengan beser dan keputihan.
Wallahu’Alam…
Wassalamu alaikum wr wb
(Ust. Yudha H. Bhaskara, SHI, Ketua DKM Masjid Jami Ad Da’wah Balandongan Sukabumi dari berbagai sumber)