SEKILAS INFO
  • 3 tahun yang lalu / Masjid Independen bukan milik ormas, partai atau instansi tertentu tapi menjalin silaturahmi tanpa batas dengan siapapun
WAKTU :

Cara bangkit dari sujud apakah harus mengepalkan tangan, atau meletakkan kedua telapak tangan, manakah yang benar?

Terbit 23 November 2021 | Oleh : admin | Kategori :
Cara bangkit dari sujud apakah harus mengepalkan tangan, atau meletakkan kedua telapak tangan, manakah yang benar?

Kajian NGOPI (Ngobrol Perkara Islam)
Jamaah dan DKM Masjid Jami Ad Da’wah Balandongan
————————————–

Pertanyaan ke-29
Jamaah Bertanya:

Assalamulaikum wr wb,

Cara bangkit dari sujud apakah harus mengepalkan tangan, atau meletakkan kedua telapak tangan, manakah yang benar?

DKM Menjawab:

Waalaikumsalam wr wb,

Bismillahirrahmanirrahim…

Semoga kita semua diberikan keistiqamahan dalam menjaga shalat lima waktu dan diberikan kemulyaan wafat dalam keadaan husnul khatimah. Amin ya Rabbal’alamin.

Cara bangkit dari sujud merupakan masalah khilafiyah yang muncul belakangan. Ada baiknya DKM akan menyampaikan dalil keduanya beserta pendapat para ulama akan hal ini.

Bagi yang mengepalkan tangan saat bangkit dari sujud berlandaskan pada hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu yang menyatakan:

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْجِنُ فِي الصَّلَاةِ

“Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan ‘ajn (bertumpu) dengan tangan ketika salat.” (HR. Ad Daruquthni)

Dan juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ath-Thobrani dalam Al-Mu’jam Al-Ausath:

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ سَعِيدٍ الرَّازِيُّ قَالَ: نا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ بْنِ أَبَانَ قَالَ: نا يُونُسُ بْنُ بُكَيْرٍ قَالَ: نا الْهَيْثَمُ بْنُ عَلْقَمَةَ بْنِ قَيْسِ بْنِ ثَعْلَبَةَ، عَنِ الْأَزْرَقِ بْنِ قَيْسٍرَأَيْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ وَهُوَ يَعْجِنُ فِي الصَّلَاةِ يَعْتَمِدُ عَلَى يَدَيْهِ إِذَا قَامَ، فَقُلْتُ: مَا هَذَا يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ؟ قَالَ: «رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْجِنُ فِي الصَّلَاةِ» ، يَعْنِي: يَعْتَمِدُ

Artinya: “Ali bin Sa’id Ar-Razi telah menceritakan kepada kami, (dia berkata) Abdullah bin Umar bin Aban telah mengabarkan kepada kami,(dia berkata) Yunus bin Bukair telah mengabarkan kepada kami, (dia berkata) Al-Haitsam bin ‘Alqomah bin Qois telah mengabarkan kepada kami, dari Al-Arzaq bin Qois dia berkata : “Aku pernah melihat Abdullah bin Umar dalam kondisi tangannya menguli/meremas adonan dalam sholat, bersandar kepada kedua tangannya apabila bangkit (dari sujud). Maka aku bertanya : “Apa ini wahai Abu Abdirrahman (kunyah Ibnu Umar) ? beliau menjawab : “Aku pernah melihat Rasulullah –shollallahu ‘alaihi wa sallam- menguli/meremas dengan tanggannya di dalam sholat.” maksudnya bersandar”. [ HR. Ath-Thobrani dalam Al-Mu’jam Al-Ausath : 4007 ].

Kedua hadits ini menjadi salah satu dalil bagi yang mengepalkan tangan pada saat bangkit dari sujud. Sementara bagi yang tidak mengepalkan tangan saat bangkit dari sujud berlandaskan hadits Imam Bukhari berikut ini:

عن مالك بن الحويرث : عن النبي صلي الله عليه وسلم وإذا اعتمد بيديه جعل بطن راحتيه وبطون أصابعه على الأرض.

Artinya: “Dari Malik bin al-Huwairits, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau bertumpu dengan kedua tangannya, beliau menjadikan telapak tangan dan jarinya untuk bertumpu di atas bumi”. (HR. Bukhari)

Juga yang menjadi landasan dalil yang tidak mengepalkan tangan saat bangkit dari sujud adalah syarah atau penjelasan para ulama terkait dua hadits Imam Ad Daruquthni dan Imam At Thabrani diatas, diantaranya sebagai berikut:

Imam An-Nawawi –rahimahullah- menilai hadits diatas dhaif bahkan bathil sebagaimana dinukil oleh Imam Ibnu Hajar –rahimahullah- dalam “At-Talkhish Al-Habir” (1/625-626).

هَذَا حَدِيثٌ ضَعِيفٌ أَوْ بَاطِلٌ لَا أَصْلَ لَهُ

“Hadits ini lemah atau batil yang tidak ada asalnya”.

Jikapun hadits tersebut shahih, Imam An-Nawawi –rahimahullah- mengatakan:

ولو صح كان معناه قائم معتمد بِبَطْنِ يَدَيْهِ كَمَا يَعْتَمِدُ الْعَاجِزُ وَهُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَلَيْسَ الْمُرَادُ عَاجِنَ الْعَجِينِ

Artinya: “Seandainya pun shohih, maka maknanya adalah : berdiri dengan posisi bersandar dengan bagian dalam kedua tangan sebagaimana seorang yang lemah, yaitu orang yang sudah tua bersandar, bukanlah yang dimaksud ‘Ajin tukang uli (adonan)”. (Majmu’ Syarhul Muhadzdzab : 3/442)

Demikian pula Syekh Khathib asy-Syarbini dalam Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Alfazh al-Minhaj memberikan penjelasan serupa:

وَأَمَّا الْحَدِيثُ الَّذِي فِي الْوَسِيطِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إذَا قَامَ مِنْ الصَّلَاةِ وَضَعَ يَدَهُ بِالْأَرْضِ كَمَا يَضَعُ الْعَاجِنُ فَلَيْسَ بِصَحِيحٍ وَإِنْ صَحَّ حُمِلَ عَلَى ذَلِكَ وَيَكُونُ الْمُرَادُ بِالْعَاجِنِ الشَّيْخَ الْكَبِيرَ لَا عَاجِنَ الْعَجِينِ

Artinya, “Adapun hadits yang terdapat dalam kitab al-Wasith dari Ibnu Abbas ra bahwa Nabi saw ketika berdiri dalam shalat meletakkan tangannya di atas tanah sebagaimana tukang pembuat adonan roti, bukan termasuk hadits shahih. Dan jika hadits ini shahih maka mesti ditafsirkan dengan penafsiran (menjadikan kedua telapak tangan dan telapak jari di atas tanah), dan yang dimaksud dengan al-‘ajin adalah orang yang tua renta, bukan tukang pembuat adonan roti (‘ajin al-‘ajn),” (Lihat M Khathib asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Alfazh al-Minhaj, juz I, halaman 182).

Juga pendapat Imam Ibnu Hajar Al-Haitami –rahimahullah- (wafat 974 H) di dalam Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj:

(وَأَنْ يَعْتَمِدَ فِي قِيَامِهِ مِنْ السُّجُودِ وَالْقُعُودِ) لِلِإسْتِرَاحَةِ أَوْ التَّشَهُّدِ (عَلَى) بَطْنِ رَاحَةٍ وَأَصَابِعِ (يَدَيْهِ) مَوْضُوعَتَيْنِ بِالْأَرْضِ لِأَنَّهُ أَعْوَنُ وَأَشْبَهَ بِالتَّوَاضُعِ مَعَ ثُبُوتِهِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَمَنْ قَالَ يَقُومُ كَالْعَاجِنِ بِالنُّونِ أَرَادَ فِي أَصْلِ الِاعْتِمَادِ لَا صِفَتِهِ وَإِلَّا فَهُوَ شَاذٌّ

Artinya: “(Dan hendaknya seseorang bersandar di dalam bangkitnya dari sujud dan duduk) untuk istirahat atau tasyahhud di atas telapak tangan dan jari-jari (kedua tangannya) yang dihamparkan ke lantai. Karena hal itu lebih bisa membantu dan lebih mirip dengan sifat rendah hati sebagaimana telah tetapnya (sifat seperti ini) dari beliau –shollallahu ‘alaihi wa sallam-. Adapun yang berpendapat “seperti ‘ajin –dengan akhir huruf nun-(mengepal seperti orang yang menguli adonan), dimaksudkan makna asalnya bersandar, bukan sifatnya (mengepalnya). jika seorang menginginkan makna sifatnya (mengepal), maka ini pendapat syadz (ganjil/aneh)”. [Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj: 2/103 ].

Dan pendapat syekh Muhammad Khathib asy-Syarbini yang menyatakan sunahnya bertopang pada kedua tangan dengan menjadikan telapak tangan dan jari-jarinya di atas tanah saat bangkit dari sujud sebagai bentuk ketawadhuan:

يُسَنُّ ( أَنْ يَعْتَمِدَ فِي قِيَامِهِ مِنْ السُّجُودِ وَالْقُعُودِ عَلَى يَدَيْهِ ) ؛ لِأَنَّهُ أَشْبَهُ بِالتَّوَاضُعِ ، وَأَعْوَنُ لِلْمُصَلِّي ، وَلِثُبُوتِهِ فِي الصَّحِيحِ عَنْ فِعْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Artinya, “Disunahkan bertopang pada kedua tangannya ketika bangun dari sujud dan duduk karena hal tersebut lebih tampak dengan ketawadlu’an, dan lebih bisa membantu orang yang shalat, serta telah dipraktikan oleh Rasulullah SAW sebagaimana ditetapkan dalam hadits sahih,” (Lihat Muhammad Khathib asy-Syarbini, Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Alfazh al-Minhaj, Bairut-Dar al-Fikr, juz I, halaman 182).

وَكَيْفِيَّةُ الِاعْتِمَادِ أَنْ يَجْعَلَ بَطْنَ رَاحَتَيْهِ ، وَبُطُونَ أَصَابِعِهِ عَلَى الْأَرْضِ وَسَوَاءٌ فِيهِ الْقَوِيُّ وَالضَّعِيفُ

Artinya, “Dan cara bertumpunya adalah dengan menjadikan kedua telapak tangan dan telapak jari-jarinya di atas tanah baik orang yang kuat maupun yang lemah,” (Lihat M Khathib asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Alfazh al-Minhaj, juz I, halaman 182).

Dengan demikian cara bangkit dari sujud dengan menopang kedua tangan dan membuka telapak serta meluruskan jari-jarinya lebih tertuju pada aktualisasi sifat ketawadhuan, karena kita sedang menghadap Allah SWT yang segala gerakan kita mesti menunjukan kelemahan kita dihadapan Allah. Sementara mengepalkan tangan menurut ‘urf atau adat kebiasaan, biasanya untuk menunjukkan kekuatan.

Kendati demikian, baik yang mengepalkan tangan atau yang tidak mengepalkan tangan, keduanya merupakan masalah khilafiyah, karena inti dari hadits tersebut bukan pada mengepal atau tidak memgepalkan tangan. Tapi lebih mengedepankan tata cara keringanan untuk bangkit dari sujud. Namun yang harus digaris bawahi, bahwa seluruh Imam madzhab yang empat, Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafii dan Imam Hambali seluruhnya menyatakan pendapat yang sama (sepengetahuan DKM) yakni tidak mengepalkan tangan saat bangkit dari sujud sebagai bentuk ketawadhuan pada Allah SWT.

Wallahu’Alam…

(Ust. Yudha H. Bhaskara, SHI/ Ketua DKM Masjid Jami Ad Da’wah Balandongan Sukabumi dari berbagai sumber)

SebelumnyaApakah percaya pada sihir termasuk Syirik pada Allah? Karena saya sering sakit dan mengalami hal aneh dalam waktu tertentu. Apakah saya boleh belajar ilmu sihir untuk menangkal sihir? SesudahnyaApakah boleh bersikap sombong terhadap orang yang sombong?

Tausiyah Lainnya