Apakah qurban untuk orang tua yang sudah meninggal dunia, sampai pahalanya kepada mayit?
Kajian NGOPI (Ngobrol Perkara Islam)
Jamaah dan DKM Masjid Jami Ad Da’wah Balandongan
————————————–
Pertanyaan ke-47
Jamaah Bertanya:
Assalamulaikum wr wb,
Pak ustadz, Apakah qurban untuk orang tua yang sudah meninggal dunia, sampai pahalanya kepada mayit?
DKM Menjawab:
Wa’alaikumusalam wr wb,
Bismillahirrahmanirrahim…
Ulama berbeda pendapat dalam kaitan sampai tidaknya pahala qurban untuk orang yang sudah meninggal dunia. Namun perbedaan ini jangan sampai menjadikan jamaah Masjid Jami Ad Da’wah Balandongan saling menyalahkan, atau justru saling larang dalam berbuat kebaikan,karena ini ranahnya ikhtilaf. Apalagi jumhur ulama diantaranya sebagian kalangan Syafi’iyah, Hanabilah, Malikiyah dan Hanafiyah menyatakan sampainya pahala qurban untuk mayit, walaupun sebagian diantaranya dengan berbagai catatan.
Pendapat pertama menyatakan qurbannya orang yang meninggal dunia, baik orang tua, keluarga atau siapapun sesama muslim, sampai pahalanya kepada mayit berlandas hadits yang diriwatkan Imam Muslim dari Sayidatina ‘Aisyah Radhiyallahu’ anha. Haditsnya dikutip Al Hafidz Ibnu Hajar Al ‘Asqalani ra. di dalam Kitab Bulughul Maram min Adillatil Ahkam hadits pertama dalam Bab Qurban.
Bahwa ketika Rasulullah SAW berkurban, doa yang dibacakan baginda Rasulullah SAW sebagai berikut:
اللهم تقبل من محمد وال محمد ومن امۃ محمد
Artinya: “Ya Allah terimalah qurban dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan (qurban) dari Ummat Muhammad.” (HR. Muslim)
Para ulama yang menyatakan bolehnya qurban atas nama orang yang sudah meninggal dunia menafsirkan doa Rasulullah SAW “Dan (qurban) dari ummat Muhammad SAW” adalah secara umum. Dalam ushul fiqh dikenal qaidah mafhum muwafaqah, artinya seluruh ummat baginda Rasulullah SAW secara umum. Tentunya dapat dipahami bahwa ummat Rasulullah SAW sampai saat ini ada yang masih hidup dan ada pula yang sudah meninggal dunia.
Demikian pula adanya riwayat bahwa Rasulullah SAW kerap berqurban atas nama para istrinya yang sudah wafat sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhori 294 dan Imam Muslim 2976 berikut:
وضحی رسول الله صلی الله عليه وسلم عن نساءه بالبقر
Artinya : “Rasulullah SAW berqurban satu ekor sapi untuk para istri-istri beliau.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Tidak hanya hadits, demikian pula atsar sahabat menyebutkan bahwa Sayidina Ali Karramallahu wajhah setiap tahunnya selalu qurban atas nama Rasulullah SAW, padahal ketika itu Rasulullah SAW telah wafat:
أن عليا رضي الله عنه كان يضحي عن النبي صلى الله عليه وسلم بكبشين، وقال: إنه صلى الله عليه وسلم أمره بذلك.
Artinya: “Bahwasanya Ali RA pernah berqurban atas nabi SAW (sesudah wafat) dengan menyembelih dua ekor kibasy. Dan beliau berkata: Bahwasanya nabi SAW menyuruhnya melakukan yang demikian.” (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, Ahmad, Hakim dan Al-Baihaki)
Hadits diatas kemudian disyarah oleh para ulama sebagai berikut:
الأول: تصح وهو مذهب الجمهور ويصله ثوابها، ويؤيده ما رواه أبو داود والترمذي في سننهما وأحمد في المسند والبيهقي والحاكم وصححه، أن عليا رضي الله عنه كان يضحي عن النبي صلى الله عليه وسلم بكبشين، وقال: إنه صلى الله عليه وسلم أمره بذلك
Artinya: “Menurut mayoritas ulama (jumhurul ‘ulama) hukumnya sah melaksanakan qurban dan pahalanya sampai kepada mayit. Keterangan ini dikuatkan dalam keterangan kitab Sunan Abi Daud dan at-Turmudzi, Musnad Imam Ahmad dan Imam Baihaqi serta Imam Hakim menganggap shahih hadis tersebut. Bahwa Ali bin Abi Thalib itu melaksanakan qurban dua kambing kibas dari Rasulullah dan Ali berkata: sesungguhnya Rasulullah memerintahkan hal tersebut.”
Dengan adanya berbagai riwayat tersebut sebagian para ulama mengambil istinbath hukum bahwa qurban atas nama orang muslim yang sudah meninggal dunia adalah sah dan sampai pahalanya kepada mayit sebagaimana pendapat Abul Hasan Al Abaddi yang disebutkan Imam Nawawi di kalangan ulama Syafi’iyah dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab:
وَأَمَّا) التَّضْحِيَةُ عَنْ الْمَيِّتِ فَقَدْ أَطْلَقَ أَبُوالْحَسَنِ الْعَبَّادِيُّ جَوَازَهَا لِأَنَّهَا ضَرْبٌ مِنْ الصَّدَقَةِ وَالصَّدَقَةُ تَصِحُّ عَنْ الْمَيِّتِ وَتَنْفَعُ هُوَتَصِلُ إلَيْهِ
Artinya: “Adapun berkurban untuk orang yang sudah meninggal dunia maka Abu al-Hasan al-Abbadi memperbolehkannya secara mutlak karena termasuk sedekah, sedang sedekah untuk orang yang telah meninggal dunia itu sah, bermanfaat untuknya, dan pahalanya bisa sampai kepadanya sebagaimana ketetapan ijma` para ulama” (Lihat Muhyiddin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Bairut-Dar al-Fikr, juz, 8, h. 406)
Bahkan Imam Ar Rofi’i menyebutkan sah dan sampainya pahala berqurban atas nama orang yang sudah wafat meskipun tidak ada wasiat dari mayit untuk berqurban sebagaimana disebutkan dalam Hasyiyyah ‘Umairoh juz VI halaman 256:
وَقَالَ الرَّافِعِيُّ : فَيَنْبَغِي أَنْ يَقَعَ لَهُ وَإِنْ لَمْ يُوصِ لِأَنَّهَا ضَرْبٌ مِنْ الصَّدَقَةِ وَحُكِيَ عَنْ أَبِي الْعَبَّاسِ السَّرَّاجِ شَيْخِ الْبُخَارِيِّ أَنَّهُ خَتَمَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكْثَرَ مِنْ عَشَرَةِ آلَافِ خَتْمَةٍ وَضَحَّى عَنْهُ مِثْلَ ذَلِكَ
Artinya: “Dan ar-Rofi’i berpendapat: ‘Seyogyanya berqurban dari mayit berhasil baginya, walaupun ia tidak berwasiat, karena ia termasuk bagian shodaqoh. Diceritakan dari Abu Al-Abbas As-Sarroj, guru Al-Bukhori, bahwa sungguh ia menghatamkan Al-Quran bagi Rosulullah SAW lebih dari sepuluh ribu kali dan berqurban baginya dengan sebandingnya'”.
Demikian pula para ulama di kalangan Malikiyah, Hanafiyah dan Hanabilah menyatakan bolehnya berqurban untuk orang yang sudah meninggal dunia sebagaimana disebutkan dalam dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah:
إِذَا أَوْصَى الْمَيِّتُ بِالتَّضْحِيَةِ عَنْهُ، أَوْ وَقَفَ وَقْفًا لِذَلِكَ جَازَ بِالاِتِّفَاقِ. فَإِنْ كَانَتْ وَاجِبَةً بِالنَّذْرِ وَغَيْرِهِ وَجَبَ عَلَى الْوَارِثِ إِنْفَاذُ ذَلِكَ. أَمَّا إِذَا لَمْ يُوصِ بِهَافَأَرَادَ الْوَارِثُ أَوْ غَيْرُهُ أَنْ يُضَحِّيَ عَنْهُ مِنْ مَال نَفْسِهِ، فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ إِلَى جَوَازِ التَّضْحِيَةِ عَنْهُ، إِلاَّ أَنَّ الْمَالِكِيَّةَ أَجَازُوا ذَلِكَ مَعَ الْكَرَاهَةِ. وَإِنَّمَا أَجَازُوهُ لِأَنَّ الْمَوْتَ لاَ يَمْنَعُ التَّقَرُّبَ عَنِ الْمَيِّتِ كَمَا فِي الصَّدَقَةِ وَالْحَجِّ
Artinya : “Adapun jika (orang yang telah meninggal dunia) belum pernah berwasiat untuk diqurbani kemudian ahli waris atau orang lain mengurbani orang yang telah meninggal dunia tersebut dari hartanya sendiri maka mazhab hanafii, maliki, dan hanbali memperbolehkannya. Hanya saja menurut mazhab maliki boleh tetapi makruh. Alasan mereka adalah karena kematian tidak bisa menghalangi orang yang meninggal dunia untuk ber-taqarrub kepada Allah sebagaimana dalam sedekah dan ibadah haji” (Lihat, Wizarah al-Awqaf wa asy-Syu`un al-Islamiyyah-Kuwait, Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwatiyyah, Bairut-Dar as-Salasil, juz, 5, h. 106-107)
Kenapa Imam Maliki justru memakruhkan? Dijelaskan oleh Al Alim Al-Kharsyi dalam Syarh Mukhtashar Khalil jilid 3 halaman 42, makruh hukumnya jika memunculkan riya atau pamer bagi keluarga mayit:
وفعلها عن ميت (ش) يعني أنه يكره للشخص أن يضحي عن الميت خوف الرياء والمباهاة ولعدم الوارد في ذلك وهذا إذا لم يعدها الميت وإلا فللوارث إنفاذها
Artinya : “Makruh bagi seseorang melakukan qurban atas orang yang sudah meninggal. Karena dikhawatirkan menjadi riya atau pamer. Dan juga tidak ada dalil dari nabi atas yang demikian itu. Kecuali atas permintaan almarhum semasa hidupnya, maka bagi ahli waris melaksanakannya.”
Sementara imam Ibnu Abdin dalam kitab Ad-Dur Al-Mukhtar jilid 3 halaman 335 dari kalangan ulama Hanafiyah justru menghukumi wajib berqurban untuk orang yang sudah meninggal dunia jika ada wasiat bagi ahli warisnya dengan catatan seluruh daging qurbannya harus dibagikan:
قوله وعن ميت) أي لو ضحى عن ميت وارثه بأمره ألزمه بالتصدق بها وعدم الأكل منها، وإن تبرع بها عنه له الأكل لأنه يقع على ملك الذابح والثواب للميت)
Artinya :”Kalau ada ahli waris yang berqurban untuk orang yang sudah meninggal karena perintahnya (wasiat), maka ahli waris ini wajib menyedekahkan daging qurban tersebut tanpa mengambil untuk memakannya. Tapi, kalau qurban tersebut dilakukan karena sukarela berbuat baik kepada yang meninggal, dia boleh memakan, karena statusnya dia pemilik qurban, dan bagi yang meninggal pahalanya.”
Sedangkan Al-Buhuti (w.1051H) salah seorang ulama kalangan madzhab Hanabilah dalam kitab Syarah Al-Muntaha Al-Iradat jilid 1 halaman 612 menyebutkan berqurban untuk orang yang sudah meninggal dunia justru lebih utama:
التضحية (عن ميت أفضل) منها عن حي. قاله في شرحه لعجزه واحتياجه للثواب (ويعمل بها) أي الأضحية عن ميت (ك) أضحية (عن حي) من أكل وصدقة وهدية
Artinya :”Qurbannya orang yang sudah meninggal dunia lebih utama dari qurbannya orang yang masih hidup. Karena ketidakberdayaan mayyit dan dia lebih membutuhkan pahala. Pelaksanaan qurban atas mayyit sama seperti pelaksanaan qurban orang yang hidup, dari yang dimakan dagingnya, disedekahkan dan dihadiahkan.”
Sedangkan Al ‘Alim Al’ Allamah Abdullah bin Al Mubarak mengambil jalan tengah dengan cara niat qurbannya tetap untuk orang yang masih hidup, sementara daging qurbannya disedekahkan untuk ihdauts tsawab (menghadiahkan pahalanya) bagi orang yang sudah meninggal dunia agar yang qurban masih bisa memakan daging qurbannya:
وَقَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ الْمُبَارَكِ أَحَبُّ إِلَىَّ أَنْ يُتَصَدَّقَ عَنْهُ وَلاَ يُضَحَّى عَنْهُ وَإِنْ ضَحَّى فَلاَ يَأْكُلْ مِنْهَا شَيْئًا وَيَتَصَدَّقْ بِهَا كُلِّهَا.
Artinya : “Abdullah bin Mubarak berkata, ‘Saya lebih senang kalau disedekahkan atas nama mayit, bukan disembelihkan Qurban atas nama mayit. Jika diqurbankan (atas nama mayit) maka tidak boleh memakannya sedikitpun dan bersedekah keseluruhannya.”
Wallahu’Alam.
Wallahul nuwafiq ila aqwamith thariq
Wassalamu alaikum wr wb
(Ust. Yudha H. Bhaskara, SHI/ Ketua DKM Masjid Jami Ad Da’wah Balandongan Sukabumi dari berbagai sumber)