Hukum Jual Beli menyuruh anak kecil
Kajian NGOPI (Ngobrol Perkara Islam)
Jamaah dan DKM Masjid Jami Ad Da’wah Balandongan.
Diasuh Oleh : Ust. Yudha H. Bhaskara,SHI
Pertanyaan ke-3
Jamaah Bertanya:
Bagaimana hukum orang tua menyuruh anaknya yang belum tamyiz (bisa membedakan baik dan buruk) untuk belanja atau jualan?
DKM Menjawab:
Bismillah…
Pada dasarnya akad jual beli, baik pembeli maupun penjual harus memenuhi syarat diantaranya aqil baligh, sementara anak-anak yang belum tamyiz atau belum baligh tidak memenuhi syarat jual beli. Sebagaimana disebutkan di dalam kitab Fathul Mu’in Hamisy I’anatuth Thalibin Juz III halaman 7 berikut ini:
وشرط فى عاقد بائعا كان اْومشتريا تكليف فلا يصح عقد صبي و مجنون
“Dan disyaratkan di dalam akad bagi penjual dan pembeli adanya taklif. Maka tidaklah sah akad yang dilakukan anak kecil dan orang gila.”
Untuk itu akad jual beli yang dilakukan anak-anak termasuk akad yang fasid (rusak). Namun demikian adapula keterangan lain yang memasukan kebiasaan menyuruh anak kecil untuk belanja ini sebagai ‘Urf (adat kebiasaan).
Sebagaiman disebutkan Syekh Taqiyuddin Al Hushny di dalam kitab Kifayatul Akhyar Juz I halaman 147:
ومما عمت به البلوى بعثان الصغار لشراء الحوائج واطردت فيه العادة فى سائر البلاد وقد تدعوالضرورة الى ذلك فينبغى لحاق ذلك بالمعاطاة اذا كان الحكم دائر مع العرف مع اْن المعتبر فى ذلك الترضى ليخرج بالصيغة عن اكل مال الغير بالباطل فانها دالة على الرضا فاذا وجد العنى الذي اشترط الصيغة لاْجله فينبغى اْن يكون هو المعتمد بشرط اْن يكون الماْخوذ يعدل الثمن وقد كانت المغيبات يبعثن الجوارى والغلمان فى زمن عمربن الخطاب رضئ الله عنه لشراء الحوائج فلا ينكره وكذالك فى زمن غيره من السلف والخلف.
“ Dan diantara yang sudah menjadi kebiasaan (‘umamul balwa) adalah mengutus anak-anak kecil untuk belanja kebutuhan sehari-hari, dan sudah menjadi adat kebiasaan di sejumlah negeri dengan dijadikannya kedharuratan. Maka hendaknya menyamakan kebiasaan menyuruh anak-anak itu dengan saling memberi (mu’athoh) jika kondisi hukumnya sudah menjadi adat kebiasaan (‘Urf). Sedangkan yang mu’tabar (utama) pada kondisi seperti itu adanya saling meridhai, agar terhindar dari bentuk memakan harta orang lain dengan cara bathil. Maka sesungguhnya cara seperti itu sudah cukup menunjukan adanya saling ridha. Dengan cacatatan apa yang diambil harus sesuai dengan harganya. Dan dahulu para Mughiibat (wanita yang suaminya pergi berperang), kerap menyuruh anak-anak perempuan yang masih kecil dan para budak laki-laki yang masih kecil untuk belanja kebutuhan di zaman Sayidina Umar bin Khattab ra, dan Sayidina Umar tidak mengingkarinya. Demikian pula di zaman para ulama salaf dan ulama khalaf.”
Sementara itu Sayyid Muhammad Al-Ba’alawy di dalam kitab Bughyatu al-Mustarsyidin halaman 124, menjelaskan terkait syarat barang yang boleh dibeli anak kecil adalah sebagai berikut:
نقل أبو فضل في شرح القواعد عن الجوزي الإجماع على جواز إرسال الصبي لقضاء الحوائج الحقيرة وشرائها ونقل في المجموع صحة بيعه وشرائه الشيء اليسير عن أحمد وإسحاق بغير إذن وليه وبإذنه حتى في الكثير عنهما، وعن الثوري وأبي حنيفة، وعنه رواية ولو بغير إذنه
“Abu Fadlal telah menukil dalam kitab Syarah al-Qawa’id, dari Al-Jauzy: Ijma’ ulama menyatakan bolehnya mengutus anak kecil (shabî) untuk memenuhi beberapa kebutuhan dan membeli perkara yang remeh. Abu Fadlal juga menukil dari Kitab al Majmu’ tentang sah jual belinya anak kecil, termasuk membeli sesuatu dengan jumlah sedikit. Imam Ahmad dan Ishaq menambahi: baik tanpa seidzin wali maupun dengan idzinnya sehingga banyak jumlahnya. Dinukil dari Al-Tsaury dan Abu Hanifah ada sebuah riwayat: meskipun tanpa seizin wali”
(Ust. Yudha H. Bhaskara, SHI (Ketua DKM) dari berbagai sumber)