Hukum Menikah dengan Non Muslim
Kajian NGOPI (Ngobrol Perkara Islam)
Jamaah dan DKM Masjid Jami Ad Da’wah Balandongan.
Diasuh Oleh : Ust. Yudha H. Bhaskara,SHI
Pertanyaan ke-2
Jamaah Bertanya:
Bagaimana hukum seorang pria muslim menikahi wanita non muslim?
DKM Menjawab:
Bismillah…
Di dalam Al Quran memang ada tertera dalam Surat Al Maidah ayat 5 :
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۖ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ ۖ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ ۗ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.”
Untuk mengamalkan ayat ini memerlukan kajian keilmuan yang benar yang telah disampaikan para ulama. Misalnya dalam memaknai Ahli Kitab dalam ayat ini, Al Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i di dalam ktab Al Umm Juz V halaman 7 menjelaskan:
أْخبرنا عبدالمجيدعن ابن جريج قال: قال عطاء ليس نصارى العراب باْهل كتاب وانمااْهل الكتاب بنوااسرائيل والذين جاءتهم التوراة والانجيل فاْمامن دخل فيهم من الناس فليسوامنهم
“Telah mengabarkan kepada kami Abdul Majid dari Ibnu Juraij berkata: Telah berkata ‘Atha: Orang Nashrani dari kalangan bangsa Arab tidak termasuk golongan Ahli Kitab. Melainkan Ahli Kitab itu dari kalangan Bani Israil, dan mereka yang mendapati Taurat dan Injil Asli, sedangkan orang-orang yang masuk kedalam agama mereka (setelah itu) bukanlah disebut Ahli Kitab.”
Sehingga bisa ditarik benang merah bahwa orang-orang non muslim di Indonesia dan bangsa lainnya bukanlah termasuk Ahli Kitab karena bukan dari kalangan Bani Israil, karena kitab asli Taurat dan Injil sekarang sudah mengalami perubahan sebagaimana disampaikan dalam Kitab Al Jawahirul Kalamiyyah fi Iddhahil ‘Aqidatil Islamiyah yang ditulis Syaikhul Muhaqqiqin Syekh Thohir bin Shalih Al Jazairy halaman 18, 19 dan 20 berikut ini:
اعتقادالعلماءالاْعلام اْن التوراة الموجودة الاْن قد لحقهاالتعريف ومما يدل على ذلك اْنه ليس فيها ذكرالجنة والنار وحال البعث والحشر والجزاء مع اْن ذلك اْهم ما يذكر في كتب الالهية. ومما يدل اْيضا على كونها محرفة ذكر وفاة موسى عليه السلام فيها في الباب الاْخير منها والحال اْنه هوالذي اْنزلت عليه
“Keyakinan Para Ulama terkemuka bahwa Taurat yang ada sekarang telah mengalami perubahan. Diantara yang menunjukan adanya perubahan itu tidak adanya penyebutan tentang adanya surga, neraka, perihal peristiwa bangkit kubur, pengumpulan kembali manusia dan adanya hari pembalasan. Padahal perihal tersebut merupakan yang terpenting dalam kitab-kitab Ketuhanan. Dan diantara yang menunjukan adanya perubahan juga adanya penyebutan kisah wafatnya Nabi Musa as. Pada bab terkhir kitab taurat tersebut padahal kitab taurat diturunkan kepada Nabi Musa as. (semasa hidup).”
اعتقادالعلماءالاْعلام اْن الانجيل المتداول الاْن له اْربع نسخ اْلفهااْربعة بعضهم لم يرالمسيح عليه السلام اْصلا وهم : متى و مرقص و لوقا و يوحنا. وانجيل كل من هؤلاء متناقص للاْخرفي كثيرمن المطالب. وقد كان للنصارى اْناجيل كثيرة غيرهذه الاْربعة لكن بعدرفع سيدناعيسى عليه السلام الى السماء باْكثر من مائتى سنة عوالواعلى الغائهاماعداهذه الاْربعة مخلصا من كثيرة التناقص وتملصا من وفرة التضاد والتعارض.
“Keyakinan para Ulama terkemuka bahwa Injil yang beredar sekarang,mempunyai empat naskah yang dikarang oleh empat orang. Dan sebagian dari mereka belum pernah bertemu Al Masih sama sekali. Keempat pengarang Injil itu adalah: Matta, Marqush, Lukas, dan Johannes. Dan Injil versi mereka bertentangan satu sama lainnya dalam berbagai pasal. Bagi kalangan Nashara sebenarnya masih banyak kitab Injil lainnya selain Injil yang empat ini. Akan tetap setelah lebih dari dua ratus tahun diangkatnya Sayidina Isa as ke langit mereka memutuskan menghapus Kitab Injil yang banyak itu selain Injil yang empat, untuk menghindari banyaknya pertentangan dan kontradiksi antara Injil yang satu dengan Injil yang lainnya.”
Terkait hukum menikahi non muslim terbagi dua kategori:
Pertama,
Jika wanita muslimah menikah dengan lelaki non muslim baik ahli kitab maupun bukan, ulama sepakat atas keharamannya. Berdasar Quran surat Al-Mumtahanah ayat 10:
لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
“Mereka (wanita-wanita muslimah) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka”
Kedua,
Jika lelaki muslim menikahi non muslim atau ahli kitab, dalam pandangan Imam Syafi’i menikahi wanita “Ahli Kitab” hukumnya boleh dengan status makruh, baik harbiy (memerangi umat Islam) maupun dzimmiy (dijamin keamanannya oleh umat Islam). Pendapat ini dikemukakan Imam an-Nawawi (w. 676 H) dalam Minhaj at-Thalibin, (Baerut: Dar al-Fikr, 1425 H), halaman 212:
حرم نكاح من لا كتاب لها كوثنية ومجوسية. وتحل كتابية لكن تكره حربية وكذا ذمية على الصحيح
“Haram menikahi wanita yang tak punya kitab (samawi) seperti watsaniyyah dan majusiyyah. Sedangkan wanita ahli kitab itu halal dinikahi tetapi makruh, baik wanita harbiy, maupun dzimmiy menurut pendapat yang shahih.”
Namun bolehnya seorang laki-laki muslim menikahi perempuan “Ahli Kitab”, mempunyai syarat (taqyiid), yaitu perempuan Ahli Kitab tersebut haruslah perempuan Bani Israil. Jika dia bukan perempuan Bani Israil, misalnya perempuan Arab tapi menganut agama Yahudi atau agama Nashrani, maka dia tidak termasuk Ahli Kitab sehingga haram hukumnya bagi laki-laki muslim untuk menikahinya sebagaimana disebutkan Imam Al Baihaqi dalam Ahkamul Qur`an juz 1, halaman 187.
Demikian pula Imam Syafii (w. 204 H) menyebutkan dalam al-Umm juz 4, halaman 193:
فَلَمْ يَجُزْ وَاَللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ أَنْ يَنْكِحَ نِسَاءَ أَحَدٍ مِنْ الْعَرَبِ وَالْعَجَمِ غَيْرَ بَنِي إسْرَائِيلَ دَانَ دِينَ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى بِحَالٍ… فَمَنْ كَانَ مِنْ بَنِي إسْرَائِيلَ يَدِينُ دِينَ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى نُكِحَ نِسَاؤُهُ وَأُكِلَتْ ذَبِيحَتُهُ
“Allah tidak memperbolehkan (Allah yang Maha Tahu) seseorang muslim menikahi wanita ahli kitab dari Arab maupun Ajam kecuali dari Bani Israil yang beragama yahudi dan nashrani… Siapa yang berasal dari Bani Israil dan beragama yahudi maupun nashrani, maka perempuannya boleh dinikahi dan sembelihannya halal dimakan.”
Pendapat Imam Syafi’i ini dijelaskan lebih lanjut oleh para ulama di kalangan madzhab Syafi’i seperti Imam Al-Khathib Asy-Syirbini dalam kitabnya Mughni Al-Muhtaj (3/187) dan Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ (2/44). Bahwa menikahi perempuan Ahli Kitab dari kalangan Bani Israil dihalalkan, karena berarti perempuan itu adalah keturunan orang Yahudi atau Nashrani yang ketika pertama kali masuk agama Yahudi atau Nashrani, kitabnya masih asli dan belum mengalami perubahan (tahrif).
Sedang perempuan Ahli Kitab yang bukan keturunan Bani Israil, haram dinikahi karena mereka adalah keturunan orang Yahudi atau Nashrani yang ketika pertama kali masuk agama Yahudi atau Nashrani, kitabnya sudah tidak asli lagi atau sudah mengalami perubahan (tahrif), kecuali jika mereka menjauhi apa-apa yang sudah diubah dari kitab mereka. (Wahbah Al Zuhaili, al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, juz 9, hal. 147)
(Ust. Yudha H. Bhaskara, SHI (Ketua DKM)
dari berbagai sumber)